TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil menantu dan anak Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu. Mereka meminta KPK segera menindaklanjuti fakta dalam sidang korupsi eks Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, yang menyebut nama Bobby dan Kahiyang.
Desakan itu disampaikan GMNI saat menggelar demonstrasi di depan Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, hari ini, Jumat, 9 Agustus 2024. Mereka juga melaporkan kasus dugaan penyuapan pengurusan izin tambang 'Blok Medan' yang menyeret Bobby dan Kahiyang.
Penanggungjawab aksi, Deodatus Sunda Se, mengatakan aksi dan pelaporan ini dilakukan oleh GMNI Jakarta Selatan, GMNI Jakarta Barat, dan GMNI Jakarta Pusat. "Kami menuntut KPK harus berani mengambil tindak lanjut," kata Dendy, sapaannya, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pada Jumat, 9 Agustus 2024.
"Kami meminta KPK harus berani memanggil (Bobby-Kahiyang). Sehingga di negara ini semua orang takut akan korupsi," ucap Dendy.
Ketua GMNI Jakarta Selatan itu mengingatkan KPK untuk tidak mendiamkan fakta yang muncul dalam persidangan Abdul Ghani Kasuba pekan lalu. "Jangan serta-merta Bobby Nasution menantu dan Kahiyang anaknya Presiden Jokowi, terus KPK diam," ucap dia.
Dendy pun menyatakan KPK harus segera merespon laporan mereka. Dia mengaku KPK menyatakan membutuhkan waktu 12-13 hari untuk mempelajari laporan memreka. "Pihak KPK menyebut butuh waktu 12-13 hari untuk mempelajari kasus ini, dan dalam kurun waktu 30 hari GMNI akan dipanggil.
Nama Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu disebut dalam sidang Abdul Gani Kasuba di Pengadilan Negeri (PN) Ternate pada 31 Juli lalu. Abdul Ghani sendiri merupakan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejumlah perusahaan.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Maluku Utara, Suryanto Andili, yang menjadi saksi dalam sidang tersebut awalnya menjawab pertanyaan jaksa soal kode Blok Medan dalam kasus ini. Suryanto pun menyatakan Blok Medan itu merujuk pada IUP milik Bobby Nasution, Wali Kota Medan sekaligus menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Suryanto, Abdul Gani Kasuba menggunakan kode ‘Blok Medan’ untuk pengurusan izin tambang ini. Ia menyebut, dirinya sempat diajak oleh Abdul Gani Kasuba ke Medan, Sumatera Utara untuk memuluskan perijinan usaha pertambangan milik Bobby.
Suryanto mengaku diajak menghadiri sebuah pertemuan dengan salah satu pengusaha di Medan. Ia datang menggantikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Maluku Utara, Bambang Hermawan yang tak bisa hadir. “Saya hanya mendampingi Pak Gubernur,” kata Suryanto.
Pertemuan ini turut dihadiri Muhaimin Syarif, Nazla Kasuba, Olivia Bachmid, dan menantu Abdul Gani Kasuba. Menurut Suryanto, Muhaimin bisa menjelaskan soal kode Blok Medan. “Untuk Istilah ini Pak Ucu (Muhamin Syarif) yang bisa menerangkannya,” kata Suryanto.
Muhaimin Syarif adalah mantan ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Gerindra Maluku Utara yang telah ditetapkan tersangka dan ditahan oleh KPK dalam kasus suap eks Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba. Ia ditetapkan tersangka karena diduga menjadi aktor dalam suap pengurusan izin usaha pertambangan di Halmahera.
Abdul Gani Kasuba lantas menanggapi kesaksian mantan anak buahnya itu. Dia mengaku istilah Blok Medan dipakai untuk pengurusan izin tambang di Halmahera untuk perusahaan milik istri Wali Kota Medan Bobby Nasution, Kahiyang Ayu, yang merupakan putri Presiden Jokowi.
“Kode itu milik istri Wali Kota Medan, istrinya Bobby,” ujarnya. Ia juga tidak membantah adannya pertemuan bersama salah satu pengusaha di Medan, Sumatera Utara.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengaku tidak tahu soal Kahiyang Ayu maupun Bobby Nasution yang disebut-sebut memiliki IUP dalam sidang Kasus Korupsi mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba. Pratikno membantah bahwa keduanya memiliki izin tambang.
"Waduh saya nggak tahu. Enggak lah, enggak ada. Itu kan proses hukum,” kata Mensesneg singkat sebelum rapat terbatas di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, 5 Agustus 2024.
Budhy Nurgianto dan Daniel A Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.