Menurut dia, warga pemilik tanah umumnya menginginkan ganti rugi sesuai dengan harga pasaran. Sebaliknya, pemerintah DKI berpegang pada nilai jual obyek pajak (NJOP). "Ada yang meminta jauh di atas NJOP," kata Sutiyoso. Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi DKI baru menyelesaikan sekitar 10 persen dari kurang lebih 400 hektare tanah yang harus dibebaskan.
Meski sulit, pemerintah masih membuka peluang untuk negosiasi harga dalam batas kewajaran. Salah satu langkahnya, Wali Kota Jakarta Utara dan Wali Kota Jakarta Timur bakal mengumpulkan warganya. Mereka akan menjelaskan bahwa proyek banjir kanal harus tetap berjalan sesuai dengan rencana. "Mau tidak mau, warga harus bersedia. Ini proyek untuk mengatasi banjir di Jakarta," Sutiyoso menandaskan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI IGKG Suena menjelaskan, ganti rugi tanah senilai NJOP memang sulit diterima warga. Namun, pembayaran harga tanah lebih dari NJOP pun bukan tanpa masalah. Di satu sisi, menurut dia, pemerintah DKI tidak memiliki patokan pasti berapa uang yang harus dianggarkan. Pasalnya, harga pasaran tanah selalu berubah-ubah. Di sisi lain, jika membayar harga tanah di atas NJOP, pemerintah akan menuai banyak kecurigaan dari masyarakat. "Kita bisa dituding KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) atau menggelembungkan harga," ujarnya.
Suena lalu memerinci sejumlah masalah yang terkait dengan pembebasan lahan. Di lapangan banyak tanah yang siap dibebaskan, tapi surat kepemilikannya tidak jelas. Ada juga status tanah yang sudah jelas, namun pemiliknya mematok harga jauh di atas NJOP. Kasus lainnya, sejumlah tanah yang statusnya merupakan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang harus diserahkan pengembang kepada pemerintah, lantaran dalam sengketa, diklaim warga belum dibebaskan oleh pengembang. (Listi Fitria Tempo News Room)