Limbah busa memenuhi saluran Banjir Kanal Timur di kawasan pintu air BKT, Malaka Utara, Jakarta, (26/10). Pencemaran air tersebut disebabkan pembuangan limbah rumah tangga dan industri secara langsung ke sungai BKT. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Penanganan Bencana Ekologis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Mukri Friatna, mengatakan mudahnya mengurus perizinan pembangunan tanpa menyertakan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) di DKI Jakarta membuat pengolahan limbah terabaikan.
Pemerintah, kata dia, harus berani menetapkan moratorium pembangunan industri yang berpotensi menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Tujuannya, membenahi pembuangan limbah yang tak dilakukan dengan semestinya. "Kalau tidak ada moratorium, maka pembenahannya sulit dilakukan," kata Mukri saat dihubungi Tempo, Selasa, 25 Maret 2014. (baca: Setahun Jokowi-Ahok, Air Bersih Belum Ditangani)
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan air limbah yang diolah di Jakarta baru tiga persen. Menurut mantan Wali Kota Solo ini, Jakarta ketinggalan jauh dibanding Singapura dan Malaysia yang masing-masing sudah mampu mengolah 100 persen dan 65 persen air limbah.
Untuk itu, Mukri menyarankan moratorium dilaksanakan minimal lima tahun. Masa tersebut dapat digunakan untuk menagih perusahaan industri yang belum menyerahkan amdal dan memperbaiki instalasi pengolahan air limbah.
Setelah moratorium berakhir, kata Mukri, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta dapat mengevaluasi perusahaan industri yang belum juga menyerahkan amdal. Evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar pencabutan izin operasional perusahaan yang tetap membandel itu. "Kalau tak dicabut izinnya, mereka akan terus abai," katanya.