Terdakwa produsen vaksin palsu pasangan suami dan istri, Hidayat Taufiqurahman (kiri) dan Rita Agustina (tengah) menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Bekasi, 11 November 2016. ANTARA/Risky Andrianto
TEMPO.CO, Bekasi - Pasangan suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina divonis empat tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan dalam perkara tindak pidana pencucian uang hasil produksi vaksin palsu.
"Menyatakan terdakwa bersalah dalam perkara tindak pidana pencucian uang," kata Ketua Majelis Hakim Oloan Silalahi membacakan putusan di Pengadilan Negeri Bekasi pada Rabu, 15 November 2017.
Kedua terpidana menolak memberikan keterangan kepada wartawan seusai divonis bersalah. Sebelumnya, Hidayat dan Rita divonis masing-masing 9 dan 8 tahun penjara dalam perkara kesehatan karena memproduksi vaksin palsu.
Dalam perkara tindak pidana pencucian uang ini, tak cuma hukuman kurungan dan denda, pengadilan juga merampas harta kedua terdakwa senilai Rp 1,2 miliar. Harta tersebut dalam bentuk rumah di Kemang Pratama Regency, Rawalumbu, tiga kendaraan bermotor, dan dua bidang tanah di Tambun.
"Aset itu disita untuk dilelang," kata Jaksa Penuntut Umum Herning.
Herning menjelaskan, jika hasil lelang nilai aset lebih dari Rp 1,2 miliar, sisanya akan dikembalikan kepada terpidana. Angka penjualan Rp 1,2 miliar ditentukan berdasarkan perhitungan nominal yang diperoleh terdakwa hasil penjualan vaksin palsu selama produksi dari 2010 hingga 2016.
Jaksa Penuntut Umum menyatakan cukup puas dengan putusan hakim dalam kasus pencucian uang terdakwa produsen vaksin palsu. Tim jaksa masih pikir-pikir untuk melakukan banding. "Kami akan lapor pimpinan dulu, dan menunggu salinan putusan," ucap Herning.
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.