Konflik Sampah dengan Bekasi, dari Sutiyoso Hingga Anies Baswedan
Reporter
Tempo.co
Editor
Untung Widyanto
Rabu, 24 Oktober 2018 12:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lewat diplomasi nasi kebuli, konflik antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi untuk sementara berhenti. Keduanya makan siang di Balai Kota DKI Jakarta dengan menu nasi kebuli pada Senin, 22 Oktober 2018.
Mereka sepakat akan membicarakan lebih rinci lagi dana kompensasi yang harus dibayarkan Pemerintah DKI atas keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi. Lokasi ini menjadi tempat pembuangan 7.000 ton sampah sehari warga Jakarta.
Baca juga: Anies Baswedan Berang dengan Ancaman Wali Kota Bekasi Soal Sampah
Padahal pekan sebelumnya, Rahmat Effendi memerintahkan anak buahnya menghadang 51 truk sampah milik Dinas Lingkungan Hidup Jakarta di pintu Tol Bekasi Barat. Aksi ini membuat kalang kabut pejabat DKI karena sampah bakal menumpuk di Ibu Kota.
Rahmat menjelaskan langkahnya dilakukan karena Gubernur Anies Baswedan tidak segera mengambil keputusan soal dana hibah kemitraan yang mandek. Menurutnya, era Gubernur Joko Widodo (Jokowi) hingga Basuki Purnama (Ahok), dana dari DKI itu selalu lancar.
Rahmat Effendi mendesak agar DKI Jakarta segera membuat keputusan atas permintaan atau usulan dari Kota Bekasi terkait kompensasi keberadaan tempat sampah milik DKI Jakarta tersebut di Bekasi.
"Saya kira kalau tidak ada keputusan, akan berlanjut (penghentian truk), jangan dihentikan ditutup juga bisa," kata Pepen, panggilan Rahmat Effendi kepada wartawan.
Kisruh sampah Jakarta di TPST Bantargebang yang beroperasi sejak 1989, bukan kali ini saja terjadi. Ini persoalan lama sejak era Gubernur DKI Jakarta dijabat Sutiyoso. Konflik itu berlanjut hingga era Fauzi Bowo, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Purnama (Ahok).
Pangkal persoalan sama, yakni menyoal perjanjian kerja sama kedua pemerintah daerah itu. Berikut ini, sengketa pengelolaan sampah di Bantargebang sejak era Sutiyoso hingga Anies Baswedan:
Baca juga: Cipika Cipiki Anies dan Pepen Akhiri Kisruh Hibah Bantargebang?
<!--more-->
Sutiyoso (1997-2007)
Pada 1999, Bekasi memprotes pengelolalan sampah yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di TPA Bantargebang. Terutama mengenai dampaknya terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh pembuangan tersebut. Konflik ini berujung pada penutupan TPA Bantargebang yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi pada 10 Desember 2001. Penutupan ini mengakibatkan ratusan ribu meter kubik sampah tak terangkut dari Jakarta.
Penutupan itu dilakukan lantaran tuntutan Bekasi agar Jakarta memperbaiki manajemen persampahan, tak ditanggapi Jakarta. Bekasi juga menuntut untuk mengambil alih 50 persen lahan TPA Bantargebang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi sampai membentuk Tim Evaluasi TPA Bantargebang untuk mengevaluasi TPA tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengancam akan menggugat Pemkot Bekasi jika TPA Bantargebang ditutup. Ia menyebut Pemprov DKI sudah berbuat banyak sebagai kompensasi keberadaan TPA tersebut. Antara lain, membangun jaringan jalan senilai Rp 40 miliar, puskesmas, ambulans, hingga insentif Rp 2,5 miliar.
Simak juga: Sutiyoso: Pemblokiran Bantar Gebang Ulah Provokator
Menyusul ancaman Sutiyoso, ratusan warga Desa Sumur Batu, Bantargebang, melakukan pembakaran sebuah truk sampah DKI Jakarta. Pada hari pertama penutupan TPA Bantargebang berlangsung panas dan berbuntut kerusuhan antara warga yang mendukung penutupan TPA dengan para pemulung yang menolak penutupan. Sebanyak 14 kendaraan Dinas Kebersihan DKI Jakarta diamuk massa di Bantargebang, dua di antaranya dibakar. Kantor TPA juga dibakar.
Namun, konflik sampah pada 2001 itu akhirnya bisa selesai setelah pemerintah pusat turun tangan. Dengan difasilitasi Kementerian Dalam Negeri (dulu masih departemen), Pemerintah Provinsi DKI dan Pemkot Bekasi kembali berunding. Sutiyoso juga mengadakan pertemuan dengan Pemkot dan DPRD Bekasi. TPA Bantargebang pun dibuka kembali pada 15 Desember 2001. Penutupan selama lima hari itu menimbulkan dampak yang luar biasa bagi Ibu Kota.
Fauzi Bowo (2007-2012)
Pada 14 Februari 2012, Pemerintah Kota Bekasi meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membayar kewajiban kompensasi di Bantargebang yang saat itu ditutup sementara.
<!--more-->
Basuki Tjahaja Purnama (2015-2017)
Pada Oktober 2015, anggota DPRD Bekasi inspeksi mendadak ke Bantargebang. Dewan mengaku kerap mendapat laporan bahwa truk sampah Jakarta melintasi rute keliru dan melintas pada jam di luar perjanjian. Enam truk sampah DKI ditahan oleh Dinas Perhubungan Kota Bekasi. Basuki pun tak terima.
Setelah itu, puluhan penduduk dan orang berseragam organisasi kemasyarakatan tertentu menghadang 200 truk sampah Jakarta di Jalan Cileungsi, Bogor. Sedikitnya 50 truk ditahan dan tidak bisa beroperasi.
Simak juga: Kisruh dengan DPRD Bekasi, Ahok Ancam Tutup Bantargebang
Mereka juga memblokade rute itu agar truk sampah tidak lewat siang hari dan hanya bisa melintas malam hari. Akibatnya, sampah di sejumlah tempat pembuangan sementara di Jakarta menggunung karena tak terangkut.
Terdapat sejumlah penyebab konflik ini. Pertama, Pemerintah Kota Bekasi merasa Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran perjanjian kerja sama, yang menjadi masalah pemicu utama adalah pelanggaran rute truk sampah yang akhirnya membuka pelanggaran-pelanggaran yang lainnya.
Kedua, reaksi Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama yang terkesan arogan terhadap DPRD Bekasi membuat konflik ini semakin memanas. Ketiga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merasa penyebab semua ini karena wanprestasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yaitu PT. Godang Tua Jaya.
Keempat, warga yang merasa dirugikan mulai menutup jalan menuju TPST Bantargebang dan puncaknya warga menutup TPST Bantar Gebang pada Juni 2017, warga menolak swakelola TPST Bantar Gebang karena mereka takut pengelolaan sampah kedepannya tidak berjalan dengan baik. Konflik itu selesai setelah dilakukan pertemuan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi untuk membicararakan adendum perjanjian.
<!--more-->
Anies Baswedan (2017-sekarang)
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi memerintahkan Dinas Perhubungan menahan 51 truk sampah DKI di pintu Tol Bekasi Barat pada 17 Oktober 2018. Truk itu rencananya akan membuang sampah di TPST Bantargebang. Rahmat Effendi atau Pepen mempersoalkan dana kemitraan dari DKI yang terhenti.
Menurut Pepen, sebetulnya kompensasi dari keberadaan TPST Bantargebang yang diberikan kepada Kota Bekasi tak sebanding. Sebab, keberadaan TPST Bantargebang cukup mengganggu warganya, khususnya di Kecamatan Bantargebang.
Pemerintah Kota Bekasi meminta Rp 2 triliun dari DKI sebagai dana kemitraan untuk 2019. Namun pihak Pemprov DKI menyatakan perlu rincian dari Bekasi terlebih dahulu sebelum mengabulkan permintaan duit Rp 2 triliun itu.
Belakangan, Pepen menurunkan usulan Rp 2 triliun itu menjadi Rp 1 triliun saja. Dana kompensasi itu disebutnya untuk membangun akses truk-truk sampah DKI, penambahan rute akses, pembangunan proyek lingkungan hidup, sarana kesehatan, hingga sekolah terpadu.
Anies Baswedan tidak keder dengan gertakan Rahmat Effendi. Dia menggelar konferensi pers di Balai Kota Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2018. Menurutnya, Pemerintah DKI hanya memiliki kewajiban membayar dana kompensasi bau sampah atas keberadaan TPST milik DKI di Kecamatan Bantargebang. Dana itu, katanya sudah diberikan kepada Pemerintah Kota Bekasi.
Pemerintah DKI, ujar Anies Baswedan, tidak punya kewajiban memberikan bantuan keuangan yang sifatnya kemitraan atau hibah kepada Bekasi.
"Ini mau menyelesaikan baik-baik, dikomunikasikan, atau mau ramai di media? Kalau mau baik-baik, pertemuan-pertemuan itu datangi dan bawa datanya. Jangan malah ramai di media. Sudah gitu diramaikan yang bukan menjadi kewajiban kami pula," kata Anies Baswedan kepada wartawan.
Simak juga: Beda Pandang Sandiaga Uno dan Anies Baswedan Soal Bantargebang
Anies Baswedan menyampaikan, persoalan dengan Pemkot Bekasi selalu muncul pada Oktober, bertepatan dengan pembahasan anggaran. Dia menganggap persoalan itu bukan soal pengelolaan sampah di TPST Bantargebang, tetapi persoalan APBD Kota Bekasi.
"Masalah ini dengan Bekasi itu selalu munculnya bulan Oktober. Kenapa ya? Coba aja Anda cek kenapa. Berarti persoalannya bukan persoalan sampah, tapi persoalan anggaran. Kira-kira begitu bukan?" kata Anies Baswedan.