4 Konflik Penghuni Vs Pengelola Apartemen di DKI 3 Tahun Terakhir
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Dwi Arjanto
Minggu, 24 Februari 2019 09:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Kisruh antara penghuni, pengelola, dan pengembang apartemen di wilayah DKI Jakarta acap muncul tahun demi tahun. Baru-baru ini, masalah terjadi di Apartemen The Lavande Residance, Jakarta Selatan.
Sejumlah penghuni Lavande, yang juga pemilik sertifikat hak milik (SHM), mengaku memperoleh kesewenang-wenangan dari pengurus perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun atau P3SRS.
Ketua Perkumpulan Warga Apartemen Lavande, Charli Novitriyanto, mengungkap selama tinggal di apartemen itu sejak 2012, ia tak pernah dapat mengakses laporan pertanggung jawaban keuangan apartemen.
“Ada dualisme kepengurusan,” ujar Umi kepada Tempo, Sabtu, 23 Februari 2019. Salah satu sayap kepengurusan, menurut pengkuan Umi, dibentuk oleh pengembang.
Sedangkan sayap lainnya oleh penghuni apartemen yang menentang kebijakan-kebijakan P3SRS yang dinilai tak aspiratif.
<!--more-->
Pada 2015, Acho merasa ada ketidakkonsistenan dari janji awal saat membeli apartemen dengan kondisi yang dialaminya.
Saat itu, dia lantas menuliskan keluhannya sebagai konsumen pembeli unit apartemen Green Pramuka di blog muhadkly.com.
Menurut Ade, Acho bermaksud membagi kisahnya agar tidak ada lagi orang yang terjebak oleh bujuk rayu pengelola apartemen Green Pramuka. Yang dilakukan Acho, adalah untuk kepentingan publik. Oleh sebab itu, Acho juga memaparkan bukti-bukti yang ada.
Baca juga : Cerita Penghuni Apartemen Lavande Protes Iuran Bulanan Naik Terus
Selain di blog, Acho juga pernah mengunggah status terkait Apartemen Green Pramuka di Twitter. Pertama, untuk merespons berita media massa mengenai pungli di Green Pramuka. Kedua, mengunggah jawaban atas pertanyaan yang diajukan Twitter.
Tindakan Acho menuliskan keluhan di blog dan Twitter ini rupanya tak bisa diterima pihak PT Duta Paramindo Sejahtera selaku pengelola apartemen Green Pramuka.
Melalui kuasa hukumnya, pada 2017, Danang Surya Winata, pengelola apartemen melaporkan Acho ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik.
Namun, pengelola apartemen lantas mencabut laporannya. Pihak Green Pramuka kemudian berjanji untuk lebih terbuka membuka ruang diskusi dengan penghuninya.
#2 Apartemen Kalibata City
Sejumlah penghuni apartemen Kalibata City pernah mengadukan ihwal kebijakan pengelola apartemen, PT Prima Buana Internusa, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2017.
Pengelola diduga telah melakukan intimidasi kepada penghuni. Salah satu penghuni bernama Wenwen mengatakan intimidasi membuat warga khawatir.
Menurut Wenwen, warga apartemen merasa pihak pengelola membatasi hak mereka untuk berkumpul dan berpendapat.
SimaK : Penegakan Pergub Rusun, Anies Beri Waktu Sampai Maret
Laporan penghuni Kalibata City ke Komnas HAM tersebut juga berdasarkan dugaan mark-up atas tagihan listrik dan air.
Wenwen mengaku ada 30 ribu penghuni apartemen Kalibata City yang dimintai tagihan empat kali dalam setahun dengan bentuk Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL). Setiap penghuni diwajibkan membayar IPL dengan jumlah berbeda, yang jika ditotal dalam setahun bisa mencapai Rp 24 miliar.
Atas dugaan mark-up tersebut, pada Juni 2017, sebanyak 13 penghuni apartemen Kalibata City menggugat tiga pihak, yakni PT Pradani Sukses Abadi selaku pengembang, PT Prima Buana Internusa selaku pengelola, serta Badan Pengelola Kalibata City.
Hingga kini, sidang perdata itu masih berjalan dan dalam tahap duplik (jawaban tergugat).
Pada April 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan megabulkan gugatan para penghuni apartemen.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan meterial para penghuni apartemen. Imbasnya, para tergugat diwajibkan membayar kerugian senilai Rp 23 juta. Para tergugat diwajibkan membayar kerugian yang diajukan penghuni Apartemen Kalibata sebesar Rp 23 juta.
#3. Apartemen Graha Cempaka Mas
Konflik penghuni dan pengelola apartemen juga terjadi di Apartemen Graha Cempaka Mas, Jakarta Pusat,dengan pengembang PT Duta Pertiwi Tbk pada 2017.
<!--more-->
Permasalahan tersebut sudah terjadi sejak 2013, dan tak kunjung bisa dibereskan hingga saat ini.
Sejumlah warga mengaku pendzoliman dialami penghuni oleh konglomerat pemilik kapital besar, dalam hal ini PT Duta Pertiwi Tbk.
Warga mengaku, pengelolaan dikendalikan oleh pengurus boneka bentukan pengembang. Imbasnya, penghuni dibebani berbagai macam iuran yang terlalu mahal untuk urusan yang seharusnya tidak perlu dibebani biaya. Misalnya, pungutan pajak listrik yang besarnya 50 persen dari tagihan.
#4 Apartemen The Lavande Residence
Konflik penghuni dan pengurus P3SRS baru-baru ini diadukan warga langsung kepada Gubernur Anies Baswedan, yakni pada 18 Februari 2019 lalu. Penghuni mengatakan pengurus P3SRS telah melanggar aturan sehingga kerap merugikan penghuni apartemen.
Misalnya, terhambatnya ruang musyawarah untuk membahas anggaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL) selama setahun. Malah, P3SRS terkesan menaikkan biaya IPL secara sepihak.
Mereka juga menaikkan IPL dari Rp 14 ribu menjadi Rp 20 ribu per meter persegi. Penghuni juga pernah mengalami kenaikan tarif IPL 3 kali dalam setahun pada 2016 lalu.
Ketua Perkumpulan Warga Lavande, Charli, mengatakan penetapan IPL itu tak pernah dirembug bersama. Rinciannya peruntukan IPL juga tidak pernah dijelaskan secara gamblang.
Warga juga menuding P3SRS merupakan boneka yang sengaja dikerahkan oleh pengembang untuk mencurangi mereka.
Simak juga :
Penghuni Apartemen Lavande Tagih Janji Anies Baswedan
Sekretaris Perusahaan PT Agung Podomoro Land Justini Omas enggan menanggapi konflik antara penghuni Apartemen Lavande dengan pengurus P3SRS.
"Untuk tanggapan yang ditanyakan baiknya menghubungi customer service pengelola di sana saja ya," kata Justini saat dihubungi Tempo. Hingga berita ini diturunkan, konflik di apartemen berlokasi di Tebet itu belum mereda.