Tarif MRT Jakarta, Ini Beda Pemahaman Ketua dan Anggota DPRD DKI
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 28 Maret 2019 10:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Pemahaman anggota DPRD DKI Jakarta soal tarif kereta moda raya terpadu alias tarif MRT Jakarta ternyata tak sama. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono menganggap keputusan tarif sebesar Rp 8.500 adalah angka rata-rata.
Keputusan itu diambil dalam rapat pimpinan gabungan (rapimgab) yang juga dihadiri Gembong pada Senin, 25 Maret 2019.
Baca : Tarif MRT Diributkan, Fraksi Partai NasDem: Sejak Kapan Ketua DPRD Jadi Penentunya?
Keputusan sahnya bahwa tarif MRT Rp 8.500 per 10 kilometer. Nilai ini berbeda dengan usulan pemerintah daerah, yaitu rata-rata Rp 10 ribu.
"Jadi disimulasikan oleh pemrpov adalah tarif rata-rata Rp 10 ribu dengan asumsi subsidi kita sebesar Rp 572 miliar. Kalau rata-rata itu diturunakn berarti subsidinya bertambah," kata Gembong saat dihubungi Tempo, Rabu, 27 Maret 2019.
Dengan perubahan besaran tarif, Gembong berujar, pemda harus membuat skema perhitungan baru. Namun, saat ini Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi memutuskan, besaran tarif MRT tetap sesuai keputusan rapimgab, tapi realisasinya menggunakan tabel hitung-hitungan pemda. Tabel itu masih menggunakan asumsi tarif rata-rata Rp 10 ribu.
Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) DPRD Bestari Barus menyampaikan, tarif per kilometer seharusnya berubah dari Rp 1 ribu (usulan pemda) menjadi Rp 600 atau Rp 700. Itu jika implementasi tarif mengikuti keputusan rapimgab.
Sepemahaman Bestari, Rp 8.500 adalah tarif maksimal yang dipungut dari penumpang naik Lebak Bulus dengan tujuan Bundaran HI. Bila penumpang turun di stasiun lain, maka biaya yang dikeluarkan kurang dari Rp 8.500.
<!--more-->
Sependapat dengan Gembong, Bestari menganggap, pemda harus membuat tabel baru dengan asumsi tarif Rp 8.500. Sebab, angka Rp 8.500 dan Rp 10 ribu tidaklah sama. Dia heran dengan pernyataan Prasetio bahwa keputusan rapimgab sama dengan usulan pemda. Padahal, dari usulan pemda, ada tarif minimal Rp 3 ribu dan maksimal 14 ribu.
"Hasil rapimgab-nya Rp 8500, ya tabel itu sesuaikan dengan Rp 8500 ini. Bukan kemudian Rp 8500 jadi menyesuaikan dengan tabel itu kemudian menjadi naik ke Rp 14 ribu," dia menjelaskan.
Baca juga :
Anies Baswedan Sebut Penetapan Tarif MRT Sah, Ini Argumennya
Sementara itu, Ketua Komisi C Bidang Keuangan DPRD Santoso mengaku ada mispersepsi soal nilai tarif MRT sehingga memutuskan merevisi kembali keputusan yang pernah dibuat.
Santoso berdalih dirinya dan anggota Komisi C berpikir bahwa usulan tarif dari pemerintah DKI adalah nilai flat atau tetap sepanjang 15,7 kilometer rute MRT.
Pemikiran itu disebutnya masih melekat di benak seluruh anggota dewan saat rapat pimpinan gabungan pada Senin, 25 Maret 2019. "Kami juga pikirnya tarif itu flat, jauh dekat Rp 10 ribu," kata Santoso saat ditemui Tempo di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Selasa, 26 Maret 2019.
Pemahaman Prasetio pun berbeda. Politikus PDIP ini telah mengetok tarif MRT sebesar Rp 8.500 per 10 kilometer. Dia tak merinci seperti apa hitung-hitungannya.
Prasetio memastikan putusan dewan itu ternyata sama seperti perhitungan pemda setelah Gubernur DKI Anies Baswedan memberi penjelasan. Anies menyambangi kantor Prasetio di lantai 10 Gedung DPRD DKI satu hari setelah rapimgab pada Selasa, 26 Maret 2019.
Simak pula :
Fraksi NasDem DPRD DKI Minta Skema Tarif MRT Dijabarkan
"Tidak ada (perubahan). Sebenarnya sama," ucap Prasetio, Selasa, 26 Maret 2019.
Besaran tarif MRT tidak sah dipungut ke publik sebelum Anies mengeluarkan kebijakan. Sekretaris Daerah DKI Saefullah menyebut, kebijakan itu berupa keputusan gubernur.