Hari Kartini, Buruh Perempuan Minta Omnibus Law Dihentikan
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 21 April 2020 15:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para buruh perempuan dari FBLP Jakarta, SP Medisafe Medan, SBTR Sulawesi Tenggara dan SPEMI Kerawang mengeluarkan surat pernyataan sikap dalam rangka memperingati Hari Kartini, 21 April 2020. Dalam suratnya, para buruh menyampaikan sejumlah masalah yang dihadapi di tengah masa pandemi Corona.
"Kami buruh perempuan, yang juga merupakan generasi Kartini di era ini adalah bagian dari jutaan buruh perempuan yang kini menghadapi situasi darurat corona, menghadapi beban dan tekanan yang luar biasa," ujar Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih dalam keterangan tertulis tersebut.
Masalah pertama, kata Jumisih, buruh perempuan tetap harus bekerja dalam ancaman tertular atau menularkan Covid-19. Cara kerjanya, kata dia, berdesakan dalam jumlah ratusan atau ribuan hanya dengan alat pelindung diri seadanya. Menurut Jumisih, situasi ini menjadikan posisi buruh perempuan sangat rentan.
Masalah kedua, kata Jumisih, buruh perempuan mengalami dilema karena harus bekerja di pabrik tapi juga harus menjadi pendamping atau guru bagi anak-anaknya yang mengikuti sekolah secara online di rumah.
"Ketiga, sebagian dari kami sudah dirumahkan tanpa diberi upah penuh dan di-PHK sepihak tanpa mendapatkan pesangon. Kinerja Pengawasan Ketenagakerjaan sangat lambat dan nyaris tidak perduli," kata dia.
Pemutusan kerja tersebut dinilai berdampak terhadap keberlangsungan hidup buruh perempuan dan keluarga. Di sisi lain, kata Jumisih, distribusi sembako pemerintah banyak tidak sampai ke tangan buruh perempuan dengan alasan mereka adalah pendatang.
Jumisih melanjutkan, masalah keempat berkaitan dengan ekonomi keluarga buruh perempuan yang merosot. Mereka disebut terancam di usir dari indekos karena tidak sanggup membayar sewa bulanan."Sementara oleh pemerintah kami dihimbau untuk tidak pulang kampung, tapi keberadaan kami di Jakarta tidak mendapat perlindungan yang baik," kata dia.
Dalam situasi ketidakpastian dan keterancaman ini, ujar Jumisih, buruh perempuan merasa semakin diabaikan ketika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia malah membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja."Hal ini berakibat memancing kemarahan buruh dan rakyat untuk melakukan aksi protes, jika pembahasan oleh Baleg tidak dihentikan," kata dia.
Bagi buruh perempuan, kata Jumisih, RUU Cipta Kerja akan berdampak dan berpotensi tidak memenuhi hak-hak perempuan. Menurut dia, Pasal 93 dalam daraf RUU Cipta kerja hanya berisi pengaturan pembayaran upah karena buruh berhalangan atau tidak masuk kerja. Sehingga, kata dia, tidak disebutkan hak buruh untuk menerima upah ketika mengalami sakit, menstruasi, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, melahirkan atau keguguran kandungan.
"Oleh karena itu, dalam rangka memperingati hari kartini, kami memaknai semangat perjuangan Kartini dalam melawan kolonialisme dengan terlibat dan mempelopori perjuangan pembebasan perempuan," kata dia.
Jumisih mengatakan, buruh perempuan menuntut pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dihentikan. Pemerintah diminta untuk fokus menangani pandemi. Selain itu, Jumisih dan kawan-kawan meminta sembako dan fasilitas kesehatan seperti masker, handsanitizer, vitamin didistribusikan kepada seluruh warga tanpa membedakan penduduk asli atau pendatang.
Tuntutan selanjutnya, hentikan PHK dan pemotongan upah pekerja dalam situasi Covid-19. Mereka juga meminta diberi kemudahan untuk melakukan sosial distancing dalam PSBB tanpa diskriminasi dengan memberikan jaminan upah penuh."Serta maksimalkan kinerja pengawas ketenagakerjaan atas situasi perburuhan saat ini, untuk memastikan hak pekerja didapat, di saat buruh dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya," kata Jumisih.