Cerita Pasien Negosiasi Sebelum Eksekusi di Rekonstruksi Klinik Aborsi
Reporter
M Julnis Firmansyah
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 26 September 2020 04:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -RS, inisial salah satu pasien klinik aborsi ilegal di Percetakan Negara, Jakarta Pusat, terlibat negosiasi harga dengan dokter DK sebelum memulai proses aborsi.
RS datang ke klinik itu bersama kekasihnya TN pada 9 September 2020 untuk menggugurkan janin di luar nikah mereka.
Setelah negoisasi yang cukup alot, RS sepakat membayar biaya aborsi itu sebesar Rp 4 juta. Selain itu, RS juga harus membayar biaya registrasi pendaftaran sebesar Rp 200 ribu dan biaya USG Rp 50 ribu.
Baca juga: Mayoritas Pasien Klinik Aborsi Percetakan Negara Hamil di Luar Nikah
"Ada penawaran (dari RS) Rp 4 juta, tapi bisanya bisa sampai Rp 5 juta biayanya," kata Wakil Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Jean Calvijn Simanjuntak di Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, Jumat, 25 September 2020.
Usai membayar biaya aborsi, dokter DK dengan dibantu dua perawat melakukan prosedur aborsi dengan cara disedot menggunakan vakum. Usai membayar biaya aborsi, RS kemudian meninggalkan lokasi itu.
"Kedua perawat kemudian membuang janin aborsi ke kloset kamar mandi," ujar Calvijn.
Adegan tawar menawar harga hingga proses aborsi dan pembuangan janin ke dalam kloset ini terlihat dari rekontruksi yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya sore ini. Adegan rekontruksi itu diperankan oleh 10 tersangka, mulai dari RS dan TN yang merupakan pengguna jasa, DK yang merupakan dokter, hingga pemilik dan calo klinik aborsi itu.
Dari pengakuan para pelaku, klinik aborsi telah beroperasi sejak 2017 dan telah mengaborsi 32 ribu lebih janin. Untuk tarif yang dikenakan sekitar Rp 2 juta untuk mengaborsi janin berusia di bawah 5 minggu dan Rp 4 juta untuk janin yang telah berumur di atas 5 minggu.
Dalam sehari, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan klinik itu bisa melayani 5-6 pasien. Keuntungan yang diraup klinik aborsi ini setiap hari sekitar Rp 10 juta dan meraup Rp 10 miliar hingga saat ini.
Atas tindakannya, para tersangka dijerat dengan pasal berlapis. Yaitu, Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.