Krisis Kemitraan Perkebunan Sawit di Kabupaten Buol, Pemilik Lahan Tak Terima Bagi Hasil selama 16 Tahun dan Dikriminalisasi

Jumat, 11 Oktober 2024 21:00 WIB

Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) Fatrisia Ain atau yang akrab disapa Nona, ketika ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 11 Oktober 2024. Ia menceritakan soal kriminalisasi petani perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. TEMPO/Ervana

TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Fatrisia Ain, menyebut bahwa petani plasma di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, yang terikat kerja sama skema inti-plasma dengan PT Hardaya Inti Plantation (HIP) tidak menerima manfaat yang telah dijanjikan selama belasan tahun kemitraan. Ia menjelaskan, petani yang juga pemilik lahan tak menerima bagi hasil yang adil dari pengelolaan perkebunan sawit yang dilakukan perusahaan milik eks Bendahara Partai Demokrat Siti Hartati Murdaya Poo ini.

Tak hanya itu, para petani perkebunan sawit yang menyuarakan ketidakpuasan mereka itu justru diintimidasi dan dikriminalisasi. Pada 8 Januari 2024, para petani memutuskan untuk secara serentak menghentikan sementara operasional perkebunan sawit mereka. “Harapannya perusahaan akan mau bernegosiasi,” kata perempuan yang akrab disapa Nona itu kepada Tempo ketika ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 11 Oktober 2024.

Sejak Februari hingga 1 September 2024, sebanyak 23 petani dan aktivis sudah mendapatkan panggilan kepolisian terkait aksi itu. “Termasuk saya sendiri yang dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan pendudukan lahan dan penghasutan terhadap petani-petani untuk melakukan perlawanan,” ujar Nona.

Bahkan, ia mengungkapkan satu dari puluhan yang mendapat panggilan itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tengah, atas tuduhan yang sama dengannya. “Satu kawan kami sudah ditetapkan tersangka, dituduh pendudukan lahan, penghasutan.”

Nona mengatakan polisi turut memanggil salah satu anak petani yang tak terlibat aksi. Anak petani itu masih berumur 16 tahun, dan datang memenuhi panggilan Polda Sulteng mengenakan seragam sekolah. “Jadi maksud kami, polisi ini melakukan pemanggilan sudah tahu nggak sih yang mereka panggil ini siapa saja,” katanya.

Advertising
Advertising

Menurutnya, terdapat tiga laporan polisi yang mengkriminalisasi mereka, dan semua dilaporkan menggunakan pasal yang sama. “Undang-Undang Perkebunan terkait pendudukan lahan, kemudian KUHP terkait penghasutan untuk melakukan aksi penghentian (operasional perkebunan),” jelas Nona.

Kemitraan Perkebunan Sawit Diiming-imingi Membawa Keuntungan

Mulanya, kemitraan skema inti-plasma itu dinilai menggiurkan bagi para petani. “Di awal-awal memang sangat menjanjikan karena memang yang mendorong itu ada pemerintah juga,” tutur Nona. Selain pemerintah, tokoh masyarakat juga turun tangan untuk mendorong kemitraan itu.

Melalui skema inti-plasma, pengelolaan perkebunan milik petani melibatkan perusahaan sawit. Skema ini menempatkan perusahaan sebagai penjamin kredit atau avalis petani yang akan mengelola perkebunan. Sementara petani atau pemilik lahan yang akan membayar kredit pinjaman secara bertahap.

“Tapi kemudian terjadi, kalau bisa kami katakan, praktik monopoli dan eksploitasi terhadap tanah-tanah kami maupun kami sebagai pemilik lahan maupun buruh-buruh yang bekerja di perusahaan ini,” ucap Nona.

Dia mengatakan, selama 16 tahun kemitraan dengan PT HIP, para petani tidak menerima bagi hasil. Padahal, lahan perkebunan sawit itu merupakan lahan milik masyarakat, bukan tanah negara. “Jadi seolah-olah kami itu ‘mari ke sini PT HIP, kami punya tanah silakan dikelola, kamu tidak perlu kasih kami apa-apa karena kamu adalah penyumbang devisa negara’,” ucap Nona.

Para petani menuntut hak mereka karena sejak kemitraan dimulai pada tahun 2008, tidak pernah ada bagi hasil. “Jadi memang kemitraannya sudah dilanggar dan sangat eksploitatif,” kata Nona.

Dia mengatakan tidak hanya tanah mereka diambil, tetapi hak mereka untuk hidup pun juga diambil. “Yang kami alami adalah kami sebagai pemilik lahan ujung-ujungnya menjadi buruh di perkebunan sawit," ungkapnya. “Bahkan lebih parahnya bukan buruh tetap, tetapi buruh tempel.”

Para petani, tutur Nona, terpaksa bekerja sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki jaminan keselamatan kerja di tanah mereka sendiri. Mereka pun diberi upah dari buruh harian tetap (BHT) yang bekerja di perkebunan sawit itu. “Jadi kami menjadi pembantu buruh tetap yang bekerja di kebun kami, dan kami bekerja di tanah kami sendiri.”

Pilihan Editor: Polisi Sebut Siswa MA As-Syafi'iyyah Tebet Bukan Korban Penganiayaan, tapi Berkelahi Masalah Asmara

Berita terkait

Kejaksaan Agung Periksa Legal PT Kencana Amal Tani dalam Kasus Duta Palma

3 jam lalu

Kejaksaan Agung Periksa Legal PT Kencana Amal Tani dalam Kasus Duta Palma

Kejaksaan Agung memeriksa empat saksi dugaan korupsi dan TPPU dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Kabupaten Hulu, Riau

Baca Selengkapnya

Gelar Aksi di Depan DPR, Masyarakat Adat Tagih Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat

4 jam lalu

Gelar Aksi di Depan DPR, Masyarakat Adat Tagih Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat

Ratusan masyarakat adat dari berbagai wilayah berkumpul di depan Gedung DPR pagi ini, Jumat, 11 Oktober 2024. Tuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Baca Selengkapnya

BPKP Tanggapi Soal Data Penerimaan Negara Bocor Rp300 Triliun: Masih Diaudit

9 jam lalu

BPKP Tanggapi Soal Data Penerimaan Negara Bocor Rp300 Triliun: Masih Diaudit

BPKP menyatakan masih melakukan audit potensi penerimaan negara yang bocor Rp300 triliun.

Baca Selengkapnya

Alasan Prabowo Bakal Tarik Denda dari Pengusaha Sawit Nakal: Daripada Masuk Bui dan Bikin Penjara Penuh, Mending Bayar

10 jam lalu

Alasan Prabowo Bakal Tarik Denda dari Pengusaha Sawit Nakal: Daripada Masuk Bui dan Bikin Penjara Penuh, Mending Bayar

Prabowo Subianto akan menarik denda dari 300 pengusaha sawit nakal. Total nominal kerugian negara akibat ulah para pengusaha ini Rp 300 triliun.

Baca Selengkapnya

Adik Prabowo Sebut Penerimaan Negara Bocor Rp 300 Triliun Karena Pengusaha Sawit Nakal, Respons Gapki?

13 jam lalu

Adik Prabowo Sebut Penerimaan Negara Bocor Rp 300 Triliun Karena Pengusaha Sawit Nakal, Respons Gapki?

Ketua Umum Gapki Eddy Martono merespons tudingan ada pengusaha sawit yang merugikan keuangan negara.

Baca Selengkapnya

Alexander Marwata dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya Dugaan Pelanggaran Etik

15 jam lalu

Alexander Marwata dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya Dugaan Pelanggaran Etik

Perbuatan Alex itu diduga masuk ranah pidana karena melanggar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Baca Selengkapnya

Kurawal Foundation Tegak Lurus Menolak Jokowisme, Soroti Pola Kriminalisasi dan Represif Rezim Jokowi

1 hari lalu

Kurawal Foundation Tegak Lurus Menolak Jokowisme, Soroti Pola Kriminalisasi dan Represif Rezim Jokowi

Kurawal Foundation nyatakan tegal lurus menolak paham Jokowisme dengan menjabarkan kriminalisasi dan tindakan represif rezim Jokowi.

Baca Selengkapnya

Kejagung Usut Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan, 5 Ruangan di KLHK Digeledah

2 hari lalu

Kejagung Usut Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan, 5 Ruangan di KLHK Digeledah

Dari penggeledahan di KLHK, tim penyidik Kejagung membawa dokumen sebanyak 4 boks dan barang bukti lain yang terkait dengan pelepasan kawasan hutan.

Baca Selengkapnya

Hashim Sebut Prabowo Punya Data dari Luhut soal Penerimaan Negara Bocor Rp 300 Triliun

3 hari lalu

Hashim Sebut Prabowo Punya Data dari Luhut soal Penerimaan Negara Bocor Rp 300 Triliun

Hashim Djojohadikusumo menceritakan Prabowo Subianto mendapatkan data itu dari Luhut soal kebocoran penerimaan negara Rp 300 triliun.

Baca Selengkapnya

SKK Migas Temukan Gas dan Kondensat di Sulawesi Tengah

5 hari lalu

SKK Migas Temukan Gas dan Kondensat di Sulawesi Tengah

SKK Migas bersama PT Pertamina EP temukan gas dan kondensat hingga 11,871 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) di sumur eksplorasi Tedong

Baca Selengkapnya