Bermula Ditemukan Mayat di Perairan Labuhan Haji Aceh Selatan, Terungkap TPPM Etnis Rohingya
Reporter
Michelle Gabriela
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 25 Oktober 2024 08:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa di perairan Aceh Selatan baru-baru ini terungkap sebagai tindak pidana penyelundupan manusia (TPPM). Penemuan tersebut melibatkan etnis Rohingya yang berada sekitar 4 mil dari pantai Labuhan Haji. Polisi menangkap tiga tersangka yang diduga terlibat dalam penyelundupan manusia, yaitu F (35), A (33), dan I (32). Selain itu, delapan orang lainnya masih dalam pengejaran aparat.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, menjelaskan bahwa kasus ini mulai terkuak setelah ditemukannya jenazah seorang perempuan di dekat pelabuhan Labuhan Haji pada Kamis, 17 Oktober 2024. Keesokan harinya, masyarakat melaporkan keberadaan sebuah kapal yang terombang-ambing sekitar 4 mil dari pantai.
"Pengungkapan itu berawal dari penemuan mayat di perairan Labuhan Haji. Sehari setelahnya, terlihat kapal yang terombang ambing sekitar 4 mil dari bibir pantai. Setelah diselidiki, ternyata ada 150 etnis Rohingnya di dalamnya, di mana tiga di antaranya sudah meninggal dunia," kata Joko, dalam konferensi di Polda Aceh, Senin, 21 Oktober 2024.
Lebih lanjut, Joko mengungkapkan bahwa berdasarkan penyelidikan, kelompok Rohingya ini berangkat dari Cox's Bazar menuju laut Andaman antara 9 hingga 12 Oktober 2024. Pada 13 Oktober, mereka mulai bergerak ke arah perairan Aceh, hingga akhirnya ditemukan di Labuhan Haji.
"Etnis Rohingya itu dari Andaman dilansir oleh kapal nelayan KM Bintang Raseuki milik masyarakat Labuhan Haji untuk dibawa ke daratan. Kapal yang membawa warga etnis Rohingya itu dibeli pelaku sekitar sebulan lalu dengan harga Rp 580 juta," katanya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh, Ade Harianto, menambahkan bahwa kapal tersebut milik seorang warga Labuhan Haji berinisial H. Para imigran Rohingya tiba di perairan Aceh Selatan pada Rabu, 16 Oktober, setelah melalui perjalanan panjang dari Laut Andaman.
Lebih jauh, diketahui bahwa untuk perjalanan dari Andaman ke Malaysia etnis Rohingya diduga membayar sejumlah uang sebagai biaya untuk keberangkatan ke negara tertentu. Diketahui, jumlah awal etnis Rohingya ada 216, tetapi 50 orang diduga telah berhasil menuju ke Pekanbaru dengan biaya sebesar Rp20 juta, tetapi yang disetor baru Rp10 juta untuk ongkos jalan.
"Dari informasi yang didapat, mereka dilansir dari Andaman untuk dibawa ke daratan. Situasi ini mempertegas bahwa ini murni tindak pidana perdagangan manusia," kata Ade Harianto.
Para pelaku akan dikenakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 286 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Angkutan Pelayaran tanpa Izin yang Mengakibatkan Kematian Seseorang, serta Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 3 Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Pasal 2 ayat (1) huruf (j) jo Pasal 3 Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ade menekankan bahwa tim gabungan Ditreskrimum Polda Aceh dan Satreskrim Polres Aceh Selatan akan menangani kasus ini. Sementara itu, nasib para imigran Rohingya akan dikoordinasikan dengan pihak imigrasi, IOM, UNHCR, dan instansi terkait lainnya.
Ade juga berharap, ke depan agar tidak ada lagi jaringan-jaringan nelayan yang memanfaatkan situasi dengan menjadi bagian dari penyelundupan manusia. Apalagi, sanksi hukum yang diterapkan terhadap kasus TPPM tersebut sangat berat.
Pilihan Editor: Beda Perlakuan Pengungsi Rohingya di Thailand, Malaysia, dan Indonesia