Pakaian Awul-awul: Dari Jepang Sampai Pasar Senen
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Sabtu, 28 Februari 2015 03:04 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Safrizal, 46 tahun, bercerita dengan nada tinggi. Pedagang grosir pakaian awul-awul--sebutan pakaian bekas yang merujuk pada cara memilihnya dengan mengacak-acak tumpukan--itu protes lantaran Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, sempat membuat bisnisnya berantakan. Gobel menyebut pakaian bekas bisa jadi sumber penyakit. "Mana bisa penyakit menular lewat pakaian, emangnya pakaian ini berdarah-darah," kata dia sambil menggebrak meja, Kamis, 26 Februari 2015.
Pedagang asal Tanah Datar, Sumatera Barat ini mengatakan pakaian bekas miliknya aman. Baju awul-awul itu, dia mengungkapkan, diimpor dari Jepang dan Korea. "Ada bos yang ambil dari sana, saya tangan kedua," ujar Safrizal.
Pakaian bekas asal Jepang dan Korea, kata Safrizal, paling diminati pembeli di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sebab, pakaian dari dua negara itu modelnya beragam. Tampilan baju juga masih seperti baru meski pernah dikenakan. "Orang Jepang dan Korea pakai sekali-dua kali saja, tak cocok, lantas dibuang," Safrizal menceritakan.
Pakaian macam ini lalu dikumpulkan dan dikirim ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Pengirimannya menggunakan kapal. Tapi, dia enggan menceritakan pelabuhan bongkar-muat pakaian awul-awul ini. "Rantai distribusinya panjang," kata Safrizal.
Dia bisa mengirim 5-10 karung seberat satu kuintal saban hari pada pedagang eceran. Bila dijumlah dalam sepekan, ada 30 karung yang didistribukan Safrizal "Saya kirim sampai Timika juga," dia menambahkan.
Ternyata, di tangan pengecer, isi karung itu tak semuanya bisa dijual. Caning, 47 tahun, misalnya. Pedagang pakaian bekas ini harus menyortir lagi kelayakan dagangannya. Sebab, pasti saja ada pakaian berlubang dalam satu karung. "Pakaian sobek dibuang atau diminta pedagang sayur untuk lap," ujarnya. Perbandingannya, satu karung yang berisi sekitar 450 potong pakaian, 150 potong bakal jadi gombal.
Yulius Effendi, 38 tahun, punya cara khusus. Dia juga menyortir pakaian bekas yang diambilnya dari pedagang grosir seperti Safrizal. Bila pakaian dianggap bersih, maka langsung dipajang di lapaknya. Sedangkan pakaian yang kotor akan dicuci terlebih dahulu. "Demi kepuasan pelanggan," kata dia.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, menggaransi baju bekas tak jadi sumber penularan penyakit. Mustahil, kata dia, baju bekas jadi medium penular virus HIV/AIDS seperti yang dikatakan Gobel. Tipsnya ialah masyarakat wajib mencuci baju bekas dengan air hangat dan deterjen sebelum dikenakan. Pengeringan baju juga harus sempurna. “Kuman-kuman langsung lenyap,” kata dia.
Nia Sriningsih, 33 tahun, tak peduli dengan kabar baju bekas pembawa penyakit. Pembeli pakaian bekas ini merasa nyaman bila pakaian yang dibeli sudah dicuci. “Yang penting harganya murah,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Inang Winarso mengatakan HIV dan AIDS tidak menular melalui pakaian. Tapi penularan melalui kontak cairan tubuh, seperti hubungan seks berganti-ganti pasangan, pemakaian jarum suntik tidak steril dan penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayinya.
"Informasi ini bisa menyebabkan masyarakat salah paham tentang penularan HIV. Dikhawatirkan, Ini juga semakin menguatkan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA),” ujar Inang.
RAYMUNDUS RIKANG