Jual Lahan ke DKI, Direktur Sumber Waras:Visi Misi Kami Sama
Editor
Setiawan Adiwijaya
Minggu, 17 April 2016 07:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Umum Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tedjanegara menyampaikan latar belakang penjualan lahan rumah sakit yayasan ini kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Alasan pertama, karena pemerintah membeli tanah itu untuk membangun rumah sakit juga.
"Misi pendahulu (pengurus yayasan) adalah menolong orang susah, untuk orang miskin," kata Abraham di ruang pertemuan RS Sumber Waras, Jakarta Barat, Sabtu, 16 April 2016.
Ia menjelaskan bahwa Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu menjadi pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta mempunyai gagasan membangun rumah sakit kanker dan jantung di tanah itu.
"Kami lalu sepakat untuk menjual. Karena kami punya misi dan visi yang sama," ujar Abraham. "Kenapa kepada DKI? Karena sekali lagi kami punya visi dan misi yang sama."
Baca Juga: Cerita Bank Soal Pembayaran RS Sumber Waras, Ternyata Pakai Cek
Menurut Abraham, lahan di Sumber Waras yang berada di Jalan Kyai Tapa itu sangat layak dijadikan rumah sakit kanker. "Karena tempatnya strategis. Mana lagi ada lahan seluas ini di Jakarta?" Ia mengatakan andaikata baru dijual sekarang, mungkin harganya lebih mahal lagi. Apalagi untuk rumah sakit.
Penandatanganan akta pelepasan hak dari rumah sakit ke Pemprov DKI terjadi pada 17 Desember 2014. Dalam penjualan itu, ucap Abraham, harga tanah yang ditawarkan rumah sakit sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP). Mengacu pada pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun 2014, yakni Rp 20,7 juta.
Abraham juga menawarkan bangunan Rp 25 miliar untuk dibeli Pemprov. Namun, setelah bernegosiasi, penawaran itu tidak disetujui. Pemprov tak membeli bangunan rumah sakit. Total harga tanah yang dibeli Pemprov senilai Rp 755 miliar atau tepatnya Rp 755.689.550.000. Pembayarannya melalui transfer ke Bank DKI Jakarta Yayasan Sumber Waras.
Baca: Alamatnya Dipermasalahkan BPK, Begini Kata RS Sumber Waras
Pembelian lahan rumah sakit ini memicu polemik. Apalagi setelah Badan Pemeriksa Keuangan menganggap prosedur pembelian menyalahi aturan dan menduga ada kerugian negara hingga Rp 191 miliar. Lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki kasus ini mulai 20 Agustus 2015.
Abraham mengaku sudah diperiksa oleh KPK sebagai saksi. Ia juga dua kali diperiksa BPK. "Sudah dipanggil. Sudah diperiksa, baik saya maupun pengurus yang lain. Tetapi saya tidak akan masuk (membahas) berita acara pemeriksaan."
REZKI ALVIONITASARI