TEMPO.CO, Bogor – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil secara resmi memulai proyek pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah atau TPPAS Regional Nambo (Luna) di Nambo, Bogor, Jumat 21 Desember 2018.
Baca juga: Cawagub DKI, PKS Perkenalkan Agung dan Syaikhu ke DPRD
Pembangunan instalasi pengolahan sampah ini dilakukan dengan mekanisme kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dengan badan usaha pemenang lelang yaitu PT. Jabar Bersih Lestari.
“Perusahaannya dari Korea, dengan kombinasi teknologi dari Jerman,” kata Emil saat melakukan groundbreaking TPPAS Regional Nambo di Bogor, Jumat 21 Desember 2018.
Menurut Emil, pengelolaan sampah di TPPAS Regional Luna ini tidak seperti pengolahan sampah pada umumnya yang terdapat di tempat pembuangan sampah akhir.
Ia mengklaim pengolahan sampah di TPPAS ini merupakan teknologi canggih pertama di Indonesia dengan skala besar untuk menghasilkan Refuse Derived Fuel (RDF) dan Kompos.
“Ini pertama di Indonesia dengan teknologi RDF, intinya mengolah sampah menjadi bahan bakar, hanya jenis bahan bakarnya adalah bahan bakar yang dibutuhkan untuk industri semen,” ujar Emil.
Pengolahan sampah di TPPAS tersebut mengadopsi teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT), di mana sampah diolah untuk menghasilkan bahan bakar alternatif pengganti batu bara atau Refuse Derived Fuel (RDF), yang selanjutnya akan digunakan oleh industri semen dan kompos.
“Jadi, intinya ini program waste to fuel, saya juga masih meneliti lagi, adakah industri lain yang membutuhkan pengganti batu bara selain semen ini,” kata Emil.
Hasil RDF ini, ujar Email, nantinya akan dibeli oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk sesuai kerjasama antara PT. Indocement dengan PT Jabar Bersih Lestari. “Saya nggak hafal (nominalnya), itu ada deal bisnis antara PT. JBL dengan PT. Indocement, tugas kita mah yang penting sampah hilang terkelola dengan baik, dan teknologi bagus,” kata Emil.
Presiden Direktur PT. Jabar Bersih Lestari, Doyun Yu, mengakui adanya hambatan dalam proses pembangunan TPPAS Regional Luna yang membuat pembangunannya sempat terkatung-katung selama kurang lebih 15 tahun.
“Sempat ada diskusi panjang antara kami dengan PT. Indocement hingga mencapai kesepakatan soal penjualan RDF,” kata Doyun kepada Tempo, Jumat 21 Desember 2018.
Meski tidak menyebut secara detil terkait hambatan tersebut, Doyun mengungkapkan kini kedua perusahaan tersebut sudah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait penjualan RDF hasil daur ulang sampah. Nantinya hasil RDF akan dijual seharga $ 22,2 per ton atau sekitar Rp 300 ribuan dengan kurs saat ini.
“Nantinya kami berencana akan menjual RDF sebesar $22,2 per ton tapi masih dirundingkan kembali,” kata Doyun Yu.
Baca juga: Cerita Satpam Apartemen Kebagusan City Soal Sisca Icun Sulastri
Senior Media Relations PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk, Rizky Dinihari belum mengetahui terkait tentang kesepakatan harga. “Karena memang, sepertinya perjanjian kita dengan PT. JBL itu, belum disclosure untuk harga jual belinya,” kata Rizky saat dikonfirmasi Tempo.
Meski begitu, Rizky mengatakan, pihaknya sepakat dengan kerjasama soal pembelian RDF dari PT. JBL kepada PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk, “RDF itu salah satu bahan bakar alternatif pengganti batubara. Sehingga itu bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan batu bara di pabrik semen kita di Citeureup,” kata Rizky di TPPAS Regional Nambo.