TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya mengklaim penangkapan mahasiswa Papua di sejumlah tempat sesuai prosedur. Sejumlah saksi mata menuturkan situasi saat penangkapan di asrama Papua di Pondok Cina, Depok.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono membantah anggapan bahwa Polisi melakukan kekerasan dalam penangkapan tersebut. Menurut dia, apa yang dilakukan pihaknya sudah sesuai dengan prosedur.
"Soft. Tidak ada misalnya pemukulan-pemukulan, tidak ada," kata Argo di Polda Metro Jaya, Ahad 1 September 2019.
Menurut Argo, kedelapan orang yang ditangkap itu diduga melakukan makar karena melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora saat demonstrasi di depan Istana Merdeka pada Rabu, 28 Agustus 2019. Mereka dijerat Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Statusnya sebagai tersangka," kata dia.
Sejumlah saksi mengungkapkan kronologi penangkapan di Asrama Papua, Pondok Cina, Depok. Hasan Billy, pengurus Rukun Tetangga setempat menyatakan bahwa penangkapan dilakukan pada Jumat malam 30 Agustus 2019 sekitar pukul 19.00. Billy mengaku mendampingi anggota polisi saat melakukan penangkapan.
“Mereka datang meminta kami mendampingi saat mandatangi asrama itu,” kata Billy saat ditemui Tempo, Sabtu 31 Agustus 2019.
Polisi yang tak mengenakan seragam itu mengaku berasal dari Polda Metro Jaya kepada Billy. Saat meninggalkan asrama mahasiswa, anggota polisi itu membawa serta dua orang dan beberapa barang seperti pelantang atau toa. Billy mengatakan tidak melihat jelas barang apa saja yang dibawa selain toa dan baju.
Seorang penghuni asrama, Cika Tabuni, menyatakan bahwa sejumlah polisi itu datang membawa surat perintah penangkapan atas nama Chako (Charles Kossay) dan Dano (Anes Tabuni). Seluruh penghuni asrama, menurut Cika, saat itu langsung diperintahkan untuk tiarap.
"Jadi sudah mereka pakai pakaian preman, suruh semua tiarap, jadi semua yang di Depok itu semua tiarap," kata Cika kepada Tempo, Jumat malam, 30 Agustus 2019.
Setelah itu, kata Cika, polisi tidak mengizinkan para mahasiswa untuk bicara. Mereka juga tidak diperbolehkan mengambil gambar maupun video. Polisi kemudian mengambil dan menyita telepon genggam para mahasiswa untuk diambil datanya.
Penangkapan kedua mahasiswa itu sempat diprotes oleh Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simamora. Menurut dia, keduanya ditangkap dan diperiksa tanpa didampingi pengacara pada Sabtu dini hari, 31 Agustus 2019. Nelson menyatakan dirinya dihalang-halangi oleh polisi untuk mendampingi keduanya.
"Kami bilang dari LBH mau dampingi. Di depan sini kami sudah enggak boleh masuk naik mobil," kata Nelson Simamora di Polda Metro Jaya, Sabtu dini hari, 31 Agustus 2019. "Kata polisi besok mereka ini baru bisa didampingi, baru bisa ditemui. Sekarang lagi di periksa."
Menurut dia, seseorang yang ditangkap berhak menemui kerabat dan keluarganya. Hal itu dijelaskan dalam KUHAP bahwa seseorang yang ditangkap berhak mendapatkan bantuan hukum, sekalipun mereka dianggap melakukan percobaan tindak pidana makar karena mengibarkan bendera bintang kejora.
"Kalaupun mereka dikasih pasal makar, nanti kemungkinan itu ancamannya tinggi di atas 5 tahun. Itu berhak, wajib mendapatkan bantuan hukum," katanya.
ADE RIDWAN| HALIDA BUNGA | M YUSUF