Rumah Siti, bersebelahan dengan pabrik makanan dan minuman itu yang hanya dibatasi tembok beton setinggi tiga meter. Menurut Siti, perubahan air sumur di rumah itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini atau sejak pabrik itu beroperasi 2017 lalu.
"Dulu airnya bersih bisa dipakai minum, kalau sekarang agak ragu untuk diminum karena keruh dan kadang berbau," ujarnya sambil menunjukan air di dalam ember berwarna putih. "Lihat saja endapan kuning diember dan kamar mandi."
Menurut Siti, jika dipakai mencuci baju putih lama kelamaan baju akan berubah kuning kecoklatan. Karena khawatir air itu berbahaya jika dikonsumsi, Siti dan keluarga terpaksa membeli air mineral untuk kebutuhan minum.
Ahmad Samsuri, 60 tahun, ayah Siti mengatakan itelah tiga kali membuat sumur bor dengan kedalaman hingga 40 meter. "Tapi airnya tetap sama, keruh dan berwarna," ucapnya. Meski tinggal bersebelahan dengan bangunan pabrik, Ahmad mengaku tak pernah mendapatkan kompensasi bising dan bau dari pabrik tersebut.
Keluhan yang sama juga dirasakan warga kampung Gembong Jatake, Desa Gembong, Balaraja. Meski berbeda kecamatan lokasi kampung Jatake dengan kampung Kramat saling berdekatan hanya dipisahkan oleh saluran irigasi yang juga menjadi saluran pembuangan limbah cair Mayora. "Kalo dulu air sumur di sini jernih, segar seperti air mineral," kata Khadariah, 40 tahun.
Namun, kata Khadariah, sejak pabrik itu beroperasi volume air sumur mereka menyusut dan berubah warna. "Keruh dan kekuningan," katanya. Dia mengaku terpaksa membeli air isi ulang untuk kebutuhan makan dan minum.
Selanjutnya : Lain lagi dengan Husna yang memutuskan berlangganan air bersih...
Lain lagi dengan Husna, 45 tahun yang memutuskan berlangganan air bersih PDAM ketika air sumurnya semakin sedikit dan keruh. Warga kampung yang juga tinggal bersebelahan dengan bangunan pabrik mengaku harus menikmati suara bising mesin pabrik siang dan malam. Mencium bau limbah sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari.
"Kadang menyengat baunya saat lagi makan, langsung hilang nafsu makannya," kata Husna.
Warga juga mengaku tak pernah mendapatkan kompensasi apapun dari perusahaan itu. "Selama empat tahun lebih pabrik itu berdiri seperakpun belum saya terima," kata Husna yang diamini warga lainnya.
Berdasarkan pengamatan Tempo, air limbah pabrik Mayora mengalir melalui saluran irigasi yang melintasi sejumlah kampung hingga bermuara ke Sungai Cidurian. Limbah cair berwarna coklat dan berbusa dibuang melalui gorong-gorong belakang bangunan pabrik yang dibangun diatas lahan seluas puluhan hektar itu. Bau menyengat menusuk hidung tercium ketika berada dekat saluran air berwarna coklat pekat itu.
Manajer Area PT Mayora Indah Jayanti, Mukhlis mengaku belum pernah mendapat laporan keluhan warga soal bau ataupun perubahan warna pada air sumur warga. "Nanti kami cek," ujarnya.
Mukhlis memastikan limbah cair pabrik yang dibuang ke saluran pembuangan sudah melalui proses pengolahan limbah. "Kami pastikan limbah kami adalah limbah organik karena berasal dari bahan makanan dan tidak mengandung racun," ucapnya. Dia membantah jika limbah berbau menyengat. "Bau mungkin bukan dari limbah kami."
Terkait dana kompensasi untuk warga Kabupaten Tangerang yang terdampak, Mukhlis mengaku tidak tahu. "Bisa ada, bisa juga tidak ada," katanya.
JONIANSYAH HARDJONO
Baca : Terkini Metro: PSK Bogor Bertambah Saat Pandemi, Kerusuhan Legok Dipicu Truk