TEMPO.CO, Depok - Wakil Wali Kota Depok Imam Budi Hartono mengakui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan sebagai dasar pemberian Kartu Depok Sejahtera (KDS) belum akurat.
"Jadi DTKS di seluruh daerah itu karena waktu zaman Covid-19 yang lalu itu semua pihak memasukkan data untuk diusulkan mendapatkan bantuan, sehingga memang data yang ada dalam itu belum tentu warga miskin," kata Imam di sela kegiatannya, Jumat, 27 Mei 2022.
Imam mengatakan hal itu pun terbukti saat Pemerintah Kota Depok melakukan evaluasi DTKS dan melakukan verifikasi ulang data yang dikelola oleh Kementerian Sosial itu. "DTKS di Kota Depok awalnya 1,2 juta jiwa, lalu dievaluasi hingga kini tersisa 984.710 jiwa," kata Imam.
Imam mengatakan, saat Covid-19 menjadi pandemi selama dua tahun ke belakang dan pemerintah banyak mengeluarkan program bantuan sebagai dampak tersebut menjadi musabab tidak akuratnya DTKS.
"Karena semangatnya para RT, RW dan pekerja sosial memasukkan data saat Covid-19 agar bisa mendapatkan bantuan yang menyebabkan DTKS ini banyak yang tidak tepat sasaran atau bahkan ada warga miskin yang belum terdata," kata Imam.
Untuk itu, Imam meminta agar masyarakat utamanya bagi ketua lingkungan, lebih aktif dalam memantau warganya. "Makanya perlu dukungan dari semua pihak, bagi siapa yang menemukan penerima bantuan sosial dia orang kaya, orang mampu, tidak miskin, maka laporkan ke kami, biar kami kroscek," kata Imam.
DPRD Depok Nilai Ada Politisasi di Balik Pemberian KDS
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Kota Depok belum menemukan fakta yang menyebutkan wali kota dan wakilnya melakukan dugaan tindak pidana dalam program Kartu Depok Sejahtera (KDS).
Anggota Fraksi PKB-PSI, Babai Suhaimi, mengatakan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan soal Kartu Depok Sejahtera hanyalah dugaan politisasi yang dilakukan oleh Wali dan Wakil Wali Kota Depok.
“Kalau bicara tentang korupsi maka berbicara tentang penyalahgunaan anggaran, kemudian ada kerugian negara, dan kami tidak sampai ke arah sana,” kata Babai dikonfirmasi Tempo, Jumat 20 Mei 2022.
Babai mengatakan, sejauh ini fakta-fakta yang telah dihimpun oleh para wakil rakyat yang mengajukan hak interpelasi adalah dugaan unsur politisasi seperti menggunakan kader partai untuk mengkoordinir penerima manfaat di tiap kelurahan, menempelkan foto Wali dan Wakil Wali Kota Depok dalam kartu, serta menggunakan warna oranye di kartu yang identik dengan warna PKS.
“(Program) Ini, kan, mewakili negara, mewakilkan pemerintah daerah, bukan mewakili individu atau kepala daerah, ini bukan bantuan Wali Kota, tapi program pemerintah yang kita setujui bersama. Inilah tujuan kami melakukan interpelasi,” kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Depok tersebut.
Babai menjelaskan interpelasi merupakan sebuah hak politik DPRD untuk meminta penjelasan program yang dijalankan pemerintah kepada masyarakat. Hasilnya pun hanya sebuah permufakatan antara legislatif dan eksekutif untuk dapat memperbaiki program yang sedang dipermasalahkan.
“Jadi sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah nomor 23 tahun 2014, kami DPRD dan eksekutif adalah sama sama penyelenggara pemerintah daerah, maka mempunyai kewajiban yang sama, setiap program itu sesuai dengan yang kita harapkan,” kata Babai.
Sebagai informasi, hak interpelasi ini dilancarkan oleh anggota DPRD Kota Depok kepada wali kota dan wakilnya atas dasar dugaan politisasi program Kartu Depok Sejahtera (KDS). Penyampaian hak politik ini telah disampaikan dalam Sidang Paripurna, Selasa 17 Mei 2022.
Hak interpelasi yang diajukan para wakil rakyat ini juga sebagai tindak lanjut dari mosi tidak percaya yang sebelumnya disampaikan oleh 33 anggota dewan dari 5 fraksi
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
Baca juga: Kelanjutan Interpelasi Wali Kota Depok, DPRD: Tunggu Jadwal Bamus