TEMPO.CO, Jakarta - Bondan Andriyanu Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace menilai solusi penggunaan kendaraan listrik untuk mengatasi polusi udara hanya akan menimbulkan pencemaran baru bila tidak didahului transisi energi dari PLTU batu bara.
Penggunaan kendaraan listrik merupakan salah satu solusi yang ditawarkan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengatasi polusi udara di Jabodetabek.
“Mengenai penggunaan EV (Electric Vehicle atau kendaraan listrik) harusnya diiringi dengan transisi energi karena saat ini kita mayoritas masih pakai PLTU Batubara untuk listrik. Kalau hanya mengandalkan EV sebagai solusi sejatinya memindahkan polusi dari knalpot kendaraan ke cerobong PLTU," katanya dihubungi Tempo, Rabu, 6 September 2023.
Menurutnya di Indonesia saat ini belum memiliki alat ukur pencemaran merkuri dari PLTU Batubara.
“Tahukah kalau emisi dari PLTU itu ada juga merkuri. Ada yang tahu datanya ? Karena tidak ada alat ukur merkuri dalam udara yang kita hirup,” ucapnya.
Dilihat dari aplikasi IQAir rangking polusi di Jakarta sudah menjadi nomor 7 setelah pernah menempati peringkat 1 udara terburuk di dunia. Nilai pencemaran masih 151.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi polusi udara Jakarta seperti penerapan work form home, penutupan beberapa perusahaan yang dinilai memberikan pencemaran lingkungan, penyiraman jalan dan penyemprotan dari gedung tinggi hingga penggunaan kendaraan listrik.
Bondan meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar data dari stasiun pemantau polusi udara dibuka ke publik.
“Se-signifikan apa penurunan polusinya dan dari berapa alat pantau yang ada,” ucapnya.
Selain itu dia juga meminta Presiden dan KLHK mencabut kasasi dalam gugatan warga mengenai polusi udara yang telah dimenangkan pada 2021 lalu.
“Karena sejatinya langkah yang saat ini diambil untuk menangani polusi bertolak belakang dengan langkah kasasi,” tuturnya.
Menurutnya polusi udara bukan terjadi di Jakarta saja, melainkan lintas batas termasuk di Jawa Barat dan Banten serta daerah lain. Sehingga, ia meminta pemerintah membuat base line data mengenai sumber data pencemar udara secara berkala di lokasi-lokasi tersebut.
“Kalaupun ada saat ini yang sudah diberikan sanksi akan lebih baik bila buka data kepada publik ada berapa dan di mana saja industri yang menghasilkan pencemaran udara,” katanya.
Hal itu agar publik turut berpartisipasi memantau mengenai emisi apa yang dihasilkan oleh kegiatan industri.
Bondan juga meminta kepada pemerintah untuk menambah alat pantau udara yang bisa representatif.
“Jakarta butuh alat pantau 43 bagaimana dengan Jawa Barat dan Banten ? Ini sebagai bentuk untuk memberikan early warning system ketika polusi udara sedang tidak sehat,” jelasnya.
Termasuk desakan agar angka korban dan kerugian ekonomi akibat polusi udara sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk membuat kebijakan yang benar seperti penggunaan bahan bakar fosil untuk keperluan industri.
“Berikan kesempatan publik berpartisipasi dalam monitoring misal melakukan pengamatan langsung dari rumah yang dekat cerobong atau sumber pencemar dengan mendokumentasi di gawai dan dilaporkan ke call center,” ucapnya.
Greenpeace menilai Teknologi Modifikasi Cuaca atau TMC buatan dan water mist hanya bisa mengurangi polutan PM 2.5 beberapa saat saja dalam hitungan jam tergantung pada kondisi cuaca saat penyemprotan.
“Bagaimana polutan selain PM 2.5, ada SO2, NO2. Apabila dilakukan tanpa mengendalikan sumber pencemarnya akan sia-sia. Karena kita punya polusi udara lintas batas,” ucapnya.
Keitikan juga sampaikan terkait tilang uji emisi, Greenpeace juga menilai hal itu harus dilengkapi upaya pengendalian kuantitas kendaraan.
“Wajar saat ini seolah gegabah karena tidak ada datanya,” katanya.
Pilihan Editor: Greenpeace Kritik Luhut: Mobil listrik Hanya Memindahkan Polusi dari Knalpot ke Cerobong PLTU Batu Bara