TEMPO.CO, Jakarta - Penutupan pabrik arang rumahan di Lubang Buaya karena dianggap menyumbang polusi kini menyisakan masalah bagi eks pekerjanya.
Tempo menemui Nung dan Giwang, bekas pekerja pabrik arang rumahan yang memilih bertahan meski mata pencahariannya sudah ditutup.
Nung dan Giwang kini beralih profesi sebagai pengepul atau kuli ampas kelapa. Nung mengatakan, penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan itu jauh menurun dibanding saat masih bekerja di pabrik arang.
Nung dan Giwang tinggal di satu gubuk kecil. Mereka mengontrak dari pemilik lahan. Biaya sewa per bulannya, kata Giwang, Rp500 ribu.
Sejak pabrik arang dilarang beroperasi, Nung dan Giwang belum mampu membayar biaya sewa kontrakan itu.
"Penghasilan sekarang kisaran Rp40-60 ribu, cuma cukup untuk makan," kata Giwang saat ditemui di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu, 30 September 2023.
Tak hanya sampai di situ, Nung mengatakan petugas dari Pemprov DKI kerap datang ke pabrik arang untuk memastikan mereka tidak lagi memproduksi.
Menurut dia, pemerintah memperlakukan mereka selayaknya kriminal. Padahal, kata Nung, mereka hanya bekerja dari mata pencaharian yang ada.
"Kesannya kami ini kayak maling. Harusnya jangan ditutup permanen, tapi dibatasi saja produksi hariannya. Jadi kami tetap bisa kerja," ujar Nung
Meski pabrik arang rumahan di Lubang Buaya sudah ditutup hampir dua bulan, polusi udara di Jakarta masih belum tuntas teratasi.
Per 30 September 2023, situs IQAir mengukur indeks kualitas udara Jakarta untuk parameter PM2,5 termasuk golongan Tidak Sehat, yakni sebesar 166 atau tertinggi di antara kota-kota besar di dunia.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Asep Kuswanto belum merespons ketika dihubungi Tempo untuk memberikan tanggapan.
Pilihan Editor: Legowo Belum Legawa Pabrik Arangnya Ditutup Heru Budi, Klaim Tak Terima Kompensasi