TEMPO.CO, Jakarta - Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang selesai menjalani pemeriksaan sekitar 5 jam sebagai ahli di Polda Metro Jaya.
Pukul 15.19 WIB Saut keluar dari ruang penyidikan dalam kasus dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK terhadap mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Pantauan Tempo, dia keluar melalui pintu provos gedung Promoter Polda Metro Jaya, didampingi oleh beberapa polisi. Dia diperiksa sejak pukul 10.03 WIB.
Usai pemeriksaan, Saut menjelaskan beberapa poin yang dia sampaikan kepada penyidik yakni soal penerapan pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang KPK yang mengatur larangan pertemuan pimpinan KPK secara langsung maupun tidak langsung dengan seseorang yang sedang berperkara sejak saat adanya pengaduan masyarakat.
Dalam pasal 36 menjelaskan soal aturannya sedangkan pasal 65 menjelaskan soal pidana penjara 5 tahun kalau ada pertemuan.
Saut Situmorang jelaskan konteks pertemuan Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo
“Itu tadi saya ditanya kapan sebuah perkara dimulai. Bukan pada saat penyidikan, kalau kalian tahu penyidikan itu September 2023. Pengaduan masyarakat mulai 2021,” kata Saut di Polda Metro Jaya usai jalani pemeriksaan, Selasa, 17 Oktober 2023.
Saut mengatakan pertemuan badminton antara Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo pada Agustus 2022, jadi pertemuan keduanya saat proses perkara itu sudah berjalan.
“Pertemuan-pertemuan badminton dan segala macam itu kan di 2 Agustus 2022 yang bersangkutan ngaku. Jadi yang dimaksud perkara adalah dimulai saat pengaduan masyarakat masuk,” ucapnya.
Dia mengatakan jika dalam sebuah kasus penanganan pengaduan masyarakat di KPK ditangani dengan benar hasilnya adalah Operasi Tangkap Tangan.
“Biasanya OTT itu bukan penyidikan dulu kan, setelah ekspos baru besok. Kan ekspos dulu baru penyidikan,” ujarnya.
Kapan sebuah penanganan perkara dimulai?
Soal adanya perdebatan perkara terhitung saat penyidikan, itu tidak sesuai dengan filosofi dalam Pasal 36 dan 65 Undang-Undang KPK yang menyebut sebuah perkara terhitung dari tanggal pengaduan masyarakat itu dilakukan.
“Pasal 36 dan 65 itu memang tujuannya adalah pimpinan yang punya accesbility terhadap informasi yang datang ke KPK supaya tidak cawe-cawe di situ,” tuturnya.
Kehadiran Saut di Polda Metro Jaya, tidak ingin kasus dugaan pemerasan pimpinan KPK terhadap Syahrul Yasin Limpo hilang begitu saja seperti kasus kebocoran data KPK.
“Kejadian mirip dengan waktu ESDM selesai begitu saja kan. Padahal Karyoto sudah masuk ke penyidikan. Makanya saya gak mau, karena itulah saya hadir di sini,” ucapnya.
Saat ditanya apakah dia mendorong Firli menjadi tersangka, Saut membenarkannya.
“Ya kalau kemari gak ditersangka-in sia-sia gue ke sini. Mending di rumah aja ngomong sama media ke mana-mana teriak-teriak,” kata Saut.
Dia berharap kasus ini terus ditindaklanjuti. “Kelihatannya sinyalnya cukup kuat dari Kapolri dan timnya di sini untuk kemudian di-follow up,” ucapnya.
Alasan pimpinan KPK dibuat 5 orang
Saut Situmorang menjelaskan alasan dibuat aturan pimpinan KPK dijabat sebanyak 5 orang untuk mengantisipasi risiko serta saling mengingatkan saat ditemui oleh orang yang tersandung kasus. Selain itu, agar salah satu pemimpin tidak lebih unggul dari yang lain. “Namanya kolektif kolegial 5 pimpinan itu adalah tidak ada yang satu di atas yang lain,” ucapnya.
Menjadi pimpinan KPK diklaim Saut memiliki aturan yang banyak. Bagi yang tidak mampu didorong untuk mundur. “Jadi banyak peraturan. Kalau tidak mau seketat itu ya nggak udah jadi pimpinan KPK,” ucapnya.
Pilihan Editor: Kapolda Metro Ogah Bahas Kelanjutan Pengusutan Dugaan Pemerasan Syahrul Yasin Limpo