TEMPO.CO, Jakarta - Karen Agustiawan, terdakwa perkara korupsi pengadaan gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) di PT Pertamina, menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekayasa kasusnya. "Proses dakwaan kepada saya adalah sebuah rekayasa kriminalisasi melalui kerja sama antara KPK dan BPK," kata Karen saat membacakan pleidoinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.
Hal tersebut, kata Karen, terbukti dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigasi BPK yang tidak lengkap. Selain itu, LHP tersebut tidak pernah diberikan kepadanya maupun kuasa hukumnya.
Karen menjelaskan bahwa BPK tidak memperdulikan penjualan kargo LNG yang untung. "BPK hanya menghitung penjualan yang rugi saja," kata Karen.
Karen juga mempertanyakan hasil dari perjalanan dinas BPK dan KPK ke Amerika Serikat pada 22 September 2023 untuk menelisik dokumen terkait kasus korupsi pengadaan LNG. Dia menduga Pertamina juga ikut pergi dalam perjalanan tersebut. "Ada dugaan bahwa Pertamina juga ikut pergi. Perjalanan dinas KPK dan BPK seharusnya menggunakan APBN. Saya sebagai WNI yang taat membayar pajak berhak tahu siapa saja yang berangkat dan apa hasilnya?" ujar Karen.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Karen Agustiawan dengan hukuman 11 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG periode 2011-2021. “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa (Karen) dengan pidana penjara selama 11 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan,” kata jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Mei 2024.
Jaksa menganggap Karen terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Jaksa KPK juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti kepada negara sebesar Rp 1.091.280.281,81 atau Rp 1 miliar dan USD 104.016,65 (sekitar Rp 1,6 miliar). Jika Karen tak membayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kata Jaksa, harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
“Dalam hal terdakwa tak mempunyai harta benda yang tak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun,” katanya. Dalam kasus ini, Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar US$ 113,83 juta atau sekitar Rp 18,54 miliar. Dakwaan itu dibacakan pada sidang Senin, 12 Februari 2024.
Kerugian itu dihitung berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK atas pengadaan LNG yang dibeli dari Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada PT Pertamina dan instansi yang berkaitan. Laporan tersebut teregister dengan Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023/ tertanggal 29 Desember 2023.
Karen juga didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,09 miliar dan US$ 104.016. Perbuatan Karen disebut dilakukan bersama Yenni Andayani selaku Senior Vice President Gas and Power PT Pertamina 2013-2014 dan Hari Karyulianto selaku Direktur Gas PT Pertamina 2012-2014.
Karen Agustiawan sebagai Dirut PT Pertamina disebut memberikan kuasa kepada keduanya untuk menandatangani LNG Sales and Purchase Agreement Train 1 dan Train 2. "Walaupun belum seluruh direksi PT Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi dan tidak meminta tanggapan tertulis Dewan Komisaris PT Pertamina," ujar jaksa penuntut umum.
HENDRI AGUNG PRATAMA | BAGUS PRIBADI
Pilihan Editor: Mabes Polri Beri Asistensi Kasus Polwan Bakar Suami di Mojokerto