TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban sindikat penipuan di Myanmar mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Apa isinya?
Keluarga korban sindikat penipuan di Myanmar yang bersurat ke Jokowi itu adalah Nurmaya, Yulia Rosiana, Yuli Yasmi, Tan, Selvi, Laily Rosidah, Syahfitri, dan Erna. Mereka tergabung dalam Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan.
Berdasarkan salinan yang diterima Tempo, surat terbuka kepada Presiden Jokowi itu tertanggal 26 Juni 2024. Dalam warkat tersebut, keluarga korban mengungkapkan bahwa delapan WNI masih dipekerjakan secara paksa dan disiksa oleh perusahaan penipuan daring yang beroperasi di Myawaddy, Myanmar.
"Sudah dua tahun kami menanti pembebasan dan kepulangan mereka. Kami tidak menunggu dengan hanya duduk manis," tulis Nurmaya, anggota Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan dalam surat tersebut, dikutip pada Sabtu, 29 Juni 2024.
Nurmaya menyebut Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan telah mengadukan apa yang dialami keluarga mereka ke pemerintah, mulai dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, KBRI, Kepolisian, Komnas HAM, Komnas Perempuan), Lembaga Pengiriman Tenaga Kerja, hingga pemerintah daerah masing-masing.
"Keluarga dan sanak saudara kami dipekerjakan dan terperangkap di perusahaan di perbatasan Myanmar-Thailand, yang sedang dilanda konflik bersenjata," ucap Nurmaya. "Setelah sampai di tempat itu, mereka menyadari bahwa mereka telah ditipu."
Dia menuturkan bahwa delapan WNI itu bekerja tidak sesuai perjanjian. Mereka diminta melakukan penipuan di dunia maya yang bertentangan dengan hati nurani.
"Keluarga kami tidak bisa pulang ke rumah, terpaksa bertahan, bekerja di perusahaan yang seluruh penjaganya memegang senjata api," kata Nurmaya.
Beruntungnya, ujar dia, pihak keluarga masih dapat berkomunikasi dengan WNI tersebut lewat telepon seluler secara sembunyi-sembunyi. Lebih rincinya, melalui nomor perusahaan untuk melancarkan operasi penipuannya.
Dari komunikasi itulah keluarga korban mendapatkan sedikit informasi tentang kondisi mereka. "Sudah terperangkap di negeri asing, kondisi mereka sangat memilukan," ujar Nurmaya.
Dia membeberkan bahwa delapan WNI itu disuruh bekerja selama 12 hingga 18 jam kerja, disiksa bila tidak memenuhi target dan dipaksa masuk ruang penjara atau isolasi, dipukul dengan kayu pada bagian tubuh vital, dan sebagainya.
"Kami percaya bahwa tidak ada satu pun manusia yang pantas untuk disiksa dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, karena sudah pasti merupakan tindakan melawan hukum," ucap Nurmaya.
Oleh karena itu, Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan mendesak dan menuntut pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Jokowi untuk:
1. mengerahkan segala daya upaya untuk segera membebaskan serta mengevakuasi WNI yang terjebak dan dipekerjakan secara paksa di perusahaan penipuan daring di Myanmar;
3. meminta Pemerintah Indonesia dan Kepolisian untuk menangkap para mafia yang mengatur dan memberangkatkan pekerja yang saat ini masih berkeliaran;
4. meminta seluruh jajaran pemerintah yang bertanggung jawab terhadap masalah ini untuk dapat lebih berempati terhadap korban dan keluarganya, serta menunjukkan komitmen yang serius dalam upaya penanganan persoalan ini;
4. menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang efektif dan menyeluruh sesuai dengan standar-standar hukum internasional.
Pilihan Editor: Kekerasan dan Akses Kemanusiaan Ditutup, Dokter Lintas Batas Hentikan Sementara Kegiatan Medis di Rakhine Myanmar