TEMPO Interaktif, Jakarta - Daru Priyambodo berniat menjual mobil Mercedes-Benz 300 E tahun 1993 miliknya. Keinginannya makin bulat setelah Dewan Perwakilan Rakyat kemarin mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi undang-undang. Salah satu yang diatur adalah pajak progresif kepemilikan mobil.
Pajak ini mengatur tarif pajak kendaraan bermotor pribadi untuk kepemilikan pertama paling rendah sebesar 1 persen dan paling tinggi 2 persen. Untuk kepemilikan kedua dan seterusnya, tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah 2 persen dan paling tinggi 10 persen.
Pengguna bahan bakar kendaraan bermotor juga akan dikenai pajak paling tinggi sebesar 10 persen. Khusus tarif pajak bahan bakar untuk kendaraan umum ditetapkan paling sedikit 50 persen lebih rendah dari tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan pribadi. Besaran pajak ditetapkan oleh pemerintah daerah. Undang-undang ini akan berlaku mulai 1 Januari 2010.
Beberapa alasan inilah yang memberatkan Daru. "Karena kapasitas mesin terlalu besar (3.000 cc), jadi tidak ekonomis. Kalau saya cuma punya satu mobil, saya nggak perlu membayar pajak dobel," kata eksekutif di perusahaan swasta ini. Jika ketentuan itu berlaku, ia berencana akan membeli mobil baru atas nama istrinya.
Burhan Solihin menyatakan siap membayar pajak dua mobilnya yang diatasnamakan dia pribadi dan istrinya. "Saya mendukung untuk perbaikan infrastruktur jalan," kata dia.
Ia menilai kebijakan kenaikan pajak progresif kendaraan bermotor tidak mempengaruhi seseorang untuk tidak menambah kendaraan yang telah dimiliki. "Setiap pembeli tentunya sudah siap membayar pajak," kata Burhan.
Pendapat serupa diungkapkan Raudla, yang sudah memiliki dua mobil. "Bila saya memang membutuhkan mobil lagi, ya, saya akan tetap membelinya, tidak bergantung pada kenaikan pajak tersebut," ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI masih berkoordinasi dengan wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) untuk menetapkan besaran pajak progresif buat mobil. "Perlakuannya (pajak) seharusnya sama dengan Bodetabek," kata Gubernur DKI Fauzi Bowo.
Koordinasi dilakukan karena ada kemungkinan pemilik kendaraan mendaftarkan mobil pertamanya di DKI. "Orang itu juga bisa memiliki kendaraan kedua yang didaftarkan di Bekasi dengan nama berbeda," kata dia. "Saya pikir tidak akan efektif kalau pemberlakuan peraturan tersebut hanya diberlakukan di Jakarta," ujarnya.
Menurut Fauzi, proses koordinasi masih dilakukan Departemen Dalam Negeri. Saat ini memang masih ditekankan pada persamaan prinsip dengan Bodetabek untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. "Percuma kalau kami menetapkan angka tapi wilayah sekitar tidak menyetujui prinsipnya," kata dia.
Anggota Komisi C Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI, Triwisaksana, menilai penerapan pajak progresif itu bisa mengurangi beban kendaraan di jalan. Namun, ia pesimistis kebijakan ini dapat mengatasi kemacetan. "Paling tidak merupakan satu komponen yang bisa mengurangi beban kendaraan," katanya kemarin.
Deputi Gubernur DKI Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Soetanto Soehodo khawatir penerapan pajak progresif atas mobil akan membuat masyarakat beralih ke sepeda motor. Apalagi jika tidak ada transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Penerapan pajak progresif, kata Soetanto, harus sama di Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya. "Orang bisa beli mobil di Tangerang atau Bekasi, tapi pakainya di Jakarta," katanya. Apalagi sebagian mobil yang melakukan perjalanan di Jakarta berasal dari kota lain, seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor.
Ketua Komite Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Alat Angkut Kadin Gunadi Sindhuwinata menilai, untuk mengatasi kemacetan, tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi, yakni dari sisi menekan jumlah kendaraan bermotor yang melintas di jalanan.
Ia menyarankan agar manajemen lalu lintas dan arsitektur jalan dibenahi lagi. Banyaknya persimpangan jalan, kendaraan umum yang ngetem (berhenti seenaknya), atau bahu jalan yang menjadi lahan parkir kendaraan dua sampai tiga lapis yang bisa menimbulkan kemacetan juga perlu dibenahi.
Menurut dia, kemacetan arus lalu lintas di jalan tidak hanya karena jumlah kendaraan, tapi juga akibat infrastruktur jalan yang rusak, arsitektur jalan, dan manajemen lalu lintas kendaraan yang tidak sempurna. "Banyak faktor yang membuat (lalu lintas) jalanan menjadi macet," ujarnya.
EKA UTAMI | SOFIAN | GRACE S GANDHI | ISTI