TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyebut pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Airlangga (BEM FISIP Unair) sebagai tindakan represif. Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus, menilai bahwa pelumpuhan BEM oleh Dekanat FISIP Unair buntut dari karangan bunga untuk Prabowo-Gibran itu tidak demokratis.
Andrie mengatakan, pembekuan tersebut bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia (HAM). “Dan hanya akan menimbulkan iklim ketakutan di masyarakat,” ucap Andrie dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 28 Oktober 2024.
Sebelumnya, Dekanat FISIP Unair membekukan BEM di kampus itu usai membuat karangan bunga satire untuk Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dekanat FISIP Unair beralasan bahwa karangan bunga itu tidak beretika.
Lebih buruk lagi, tutur Andrie, tindakan Dekanat FISIP Unair itu membungkam nalar kritis di dunia akademik. Padahal, kebebasan akademik secara tegas diakui oleh negara yang tertuang secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).
Andrie menyatakan pembekuan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2020 tentang Pendidikan Tinggi. “Bahwasanya akademisi dan peserta pendidikan tinggi sebagai civitas akademika yang dilindungi dan dijamin oleh negara untuk penikmatan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi,” kata Andrie.
Bertentangan dengan undang-undang
Selain itu, pelumpuhan BEM FISIP Unair ini juga dianggap bertentangan dengan hak kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat yang merupakan hak penting yang diakui dalam Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. “(Ini) hak yang secara fundamental mengkritik orde baru dan hak yang diakui sebagi ruh dari reformasi 1998,” tutur Andrie itu.
Indonesia, Andrie menjelaskan, juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Negara pun memiliki tanggung jawab untuk memastikan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warganya.
“Kebebasan berekspresi dan berpendapat ini memang dapat dibatasi sesuai dengan Pasal 19 Ayat (3) Konvenan Hak Sipil dan Politik,” ujar Andrie.
Namun, menurut Andrie, pembatasan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan syarat tertentu. Pembatasan tersebut, kata Andrie, tak boleh ditujukan untuk membungkam kritik bagi pejabat publik yang memang subjek dari kritik.
“Pembekuan ini adalah tanpa alasan, tidak masuk akal dan melawan hukum dan Hak Asasi Manusia.”
Tuntutan TAUD
TAUD pun menuntut Unair dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk melakukan evaluasi terhadap pelumpuhan organisasi mahasiswa ini. “Pembekuan harus dicabut dan setiap pejabat kampus yang terlibat harus dievaluasi dan diberi tindakan,” ucap Andrie.
TAUD juga meminta langkah konkret pemerintah untuk memastikan kebebasan akademik dan tidak menjadikan pemerintahan barunya berwatak anti-kritik dan anti-intelektualisme.
Dari foto yang disebar di sosial media, karangan bunga itu berbentuk persegi panjang dan terdapat foto presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran.
Papan ucapan itu bertuliskan, "Selamat atas dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi."
Terdapat pula tulisan, "Ketua Tim Mawar," pada bagian bawah foto Prabowo Subianto. Sementara pada bagian bawah foto Gibran Rakabuming terdapat tulisan, "Admin Fufufafa." Selain itu, terdapat tulisan "Dari: Mulyono (Bajingan Penghancur Demokrasi)."