TEMPO Interaktif, Jakarta - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030 yang sedang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta dinilai masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat bawah serta kepentingan lingkungan.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Jakarta 2030 menilai bahwa rancangan peraturan daerah yang mengatur RTRW 2030 itu akan tetap membawa masalah tata ruang di Ibukota Negara RI ini semakin pelik.
"Itulah yang membuat kami berharap agar Bappeda melakukan penundaan pengajuan rancangan perda RTRW DKI Jakarta 2030 kepada DPRD," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Ubaidillah , yang ikut dalam jaringan masyarakat ini di Jakarta Jumat (15/1).
Menurut Ubaidillah, proses penyusunan rancangan perda RTRW 2030 itu belum dilakukan secara transparan. "Masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan sehingga mereka benar-benar buta akan rencana tata kota pada 20 tahun ke depan seperti apa," katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, bahwa dengan proses seperti itu kekhawatiran akan adanya praktek penetapan peruntukan lahan akan tidak berpihak pada masyarakat luas. "Juga membuka manipulasi dan pengalihan fungsi ruang terbuka hijau dan kawasan resapan air," katanya.
Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, menambahkan bahwa sebenarnya masalah manipulasi seperti itu sudah dapat tergambar dengan jelas dalam beberapa kasus. "Misalnya dari sekitar 325 pasal yang mengatur RTRW 2030 itu belum ada aturan yang menjamin masalah keadilan tata ruang," katanya.
Nurkholis mencontohkan yang terkait dengan permasalahan pemukiman. "Raperda itu semakin mengukuhkan adanya upaya untuk menghilangkan pemukiman kumuh namun tidak didukung dengan pembentukan pemukiman baru di tempat lain," katanya.
Padahal, menurut Nurkholis, pengaturan seperti itu harus ada agar permasalahan kawasan pemukiman kumuh yang selama ini masih menjadi masalah pelik di Jakarta bisa teratasi.
Selain itu, Nurkholis juga menyorot masalah ketersediaan ruang terbuka hijau sebanyak 20 persen dari luas wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. "Rancangan Perda RTRW 2030 nantinya justru akan melegitimasi ketidakberdayaan pemerintah untuk mencapai angka 20 persen itu," katanya.
Mengapa itu bisa terjadi? Menurutnya, proses pembangunan pemukiman mewah dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi investasi besar dan bisnis yang terus terjadi yang menjadi penyebabnya. Padahal, menurut Nurkholis, peruntukan lahan bagi ruang terbuka hijau itu bisa saja diintegrasikan dengan adanya ketentuan penyediaan 20 persen lahan di ruang bisnis untuk sektor informal.
"Konsepnya bisa sederhana sekali, memberikan tempat bagi para pedagang kaki lima sambil membuat taman kecil misalnya," kata Nurkholis.
Selain masalah ruang terbuka hijau, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Jakarta 2030 juga menyoroti masalah kawasan peresapan air. Ahmad Safrudin dari Komite P Bensin Bertimbel menyatakan bahwa rancangan perda RTRW 2030 belum mendukung upaya menciptakan kawasan resapan air di Jakarta.
Dia melihat bahwa dari rancangan yang dibuat itu tidak ada perlindungan yang ketat terhadap daerah resapan air, badan air, dan wetland. "Yang sebenarnya bisa menjaga kita dari erosi laut dan banjir rob, serta masalah banjir secara keseluruhan," katanya.
EZTHER LASTANIA