TEMPO Interaktif, Jakarta - Musik keroncong terdengar sayup-sayup di antara deru truk peti kemas yang lalu-lalang di sekitar Kampung Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Ahad, 12 Juni 2011, kampung ini sedang menggelar hajatan Festival Kampung Tugu dan kelompok musik Krontjong Toegoe didapuk sebagai pengisi acara.
Namun, keroncong yang dimainkan kelompok itu sedikit berbeda dengan keroncong yang biasa kita dengar. Iramanya lebih cepat, tak ada nuansa mendayu dan tak ada cengkok dalam suara vokalisnya.
Dengan irama berayun cepat tanpa cengkok, Krontjong Toegoe dapat dengan mudah berkolaborasi dengan jenis musik lain. Saat Tempo tiba di lokasi, keroncong jadi terdengar seperti hip hop karena menjadi pengiring lagu Jali-jali yang dinyanyikan secara a capella oleh group vokal Jamaica Cafe.
Menurut pemimpin kelompok Krontjong Toegoe, Andre Juan Michiels, sempat manggug di Belanda dan sempat ditawari tampil meramaikan North Sea Jazz Festival, saat ini kelompok ini harus berjuang untuk tetap eksis. “Sebulan paling ada tawaran manggung tiga sampai empat kali,” ujarnya saat ditemui di lokasi festival.
Pria kurus, tinggi berhidung mancung ini kemudian menjelaskan asal-muasal musik yang dibawakan oleh grupnya yang terdiri dari tujuh orang itu. Keroncong, menurut Andre, merupakan musik asli Portugis yang dulunya dikenal dengan sebutan fado. Tempo cepat yang diadopsinya merupakan akulturasi dengan budaya Afrika. “Dulu, fado banyak dimainkan oleh budak Afrika yang masuk ke Portugis,” kata dia.
Fado yang berbaur dengan budaya Moor dari Afrika kemudian menjadi musik yang dikenal dengan nama Moresco. Di masa berikutnya, dalam penjelajahan Portugis untuk menemukan “Dunia Baru”, mereka juga memperkenalkan Moresco di beberapa wilayah jajahannya, termasuk di Nusantara. Di Indonesia disebut keroncong karena bunyinya yang semarak, croong… croong… croong.
Musik keroncong memang tak dapat dipisahkan dari sejarah Kampung Tugu. Di kampung inilah, menurut Andre, keroncong berkembang pertama kali di Indonesia, dibawa langsung oleh nenek moyangnya, orang-orang Portugis. “Saya sendiri keturunan kesepuluh keluarga Michiels,” kata Andre tersenyum.
Menurut Andre, nama kampung Tugu berasal dari kata por tugu esa (Portugis). Sejarah kampung ini bermula pada awal abad ke-16 oleh sekitar 23 keluarga, termasuk keluarga Michiels yang dibawa Belanda tidak lama setelah mereka menguasai wilayah Malaka. Mereka memperoleh tanah di sekitar daerah Koja dari VOC dengan syarat pindah agama dari Katolik ke Potestan. “Gereja Tugu yang dibangun pada 1744 ini merupakan saksi sejarah kami,” kata Andre dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Saat ini, wilayah Kampung Tugu tak lebih dari 1,4 hektare area berpagar di sekeliling Gereja Tugu. Di sebelah geraja ada pemakaman kecil namun padat. Beberapa bangunan lain difungsikan sebagai aula atau tempat pertemuan bagi warga. Kawasan ini kemudian ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya di masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. “Festival Kampung Tugu lumayan menghidupkan wilayah ini,” kata Andre.
Tahun ini adalah gelaran ketiga Festival Kampung Tugu. Dibuka langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, festival ini memamerkan berbagai foto, lukisan, hingga miniatur kapal yang mewarnai rekam jejak Portugis (kini Portugal) di Kampung Tugu. “Dengan nuansa Portugis yang cukup kental, Kampung Tugu adalah bagian dari kekayaan budaya di Jakarta,” kata Fauzi Bowo dalam sambutannya.
Kampung Tugu rupanya juga menjadi perekat hubungan persahabatan antara Indonesia dan Portugal. Pagi tadi, Duta Besar Portugal untuk Indonesia, Carlos Frota, melaksanakan ibadah di Gereja Tugu sebagai rangkaian acara Festival Kampung Tugu.
Selain musik keroncong, Komunitas Kampung Tugu mewariskan sejumlah kebudayaan seperti bahasa tutur yang kini telah diadopsi sebagai bahasa Indonesia seperti bangku, bantal, bendera, biola, meja, serdadu, boneka, algojo, pita, cerutu, gereja, jendela, mentega, dan sepatu.
PINGIT ARIA