TEMPO Interaktif, Jakarta - Kapal-kapal tradisional yang biasa beroperasi mengangkut wisatawan dan warga dari Muara Angke ke Kepulauan Seribu ternyata banyak yang tak memenuhi standar keamanan pelayaran. Keselamatan wisatawan dan warga Kepulauan Seribu jadi taruhan.
"Kalau dilihat dari aspek teknis keamanannya, kapal-kapal itu bisa tidak layak laut. Tapi, kondisi ini sering diabaikan operator kapal," kata Kepala Administrasi Pelabuhan Muara Angke Khairul Saleh ketika dihubungi pada Sabtu, 30 Juli 2011.
Kapal-kapal yang biasa mengangkut penumpang dari Muara Angke ke Kepulauan Seribu biasa disebut kapal ojek. Ia mencontohkan kapal-kapal kayu itu tak memiliki sistem navigasi dan jumlah pelampung tak cukup. Selain itu kapal-kapal tradisional ini juga dinilai tak cocok menerabas hingga ke tengah laut. "Kalau untuk angkutan antarpulau di Kepulauan Seribu bisa," katanya.
Khairul melanjutkan, konstruksi kapal juga tak sesuai dengan peruntukan. Kapal-kapal ini lebih tepat mengangkut barang daripada mengangkut penumpang. "Jenis kapalnya saja tidak jelas," katanya.
Kondisi ini diperparah dengan sikap pemilik kapal yang tak memahami batas kuota penumpang. Masing-masing kapal rata-rata hanya sanggup menampung 57-90 penumpang. Namun, pada akhir pekan, 1 kapal bisa mengangkut lebih dari 100 penumpang.
Khairul mengakui penertiban kapal-kapal ini tak mudah. Sebab, kata dia, hanya kapal-kapal inilah yang bisa diakses warga Kepulauan Seribu untuk menyeberang ke Jakarta. Jadi, menghentikan kapal-kapal itu berarti membuat warga Kepulauan Seribu terisolasi.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, kata Khairul, pernah memberikan solusi. Kapal-kapal yang sebenarnya tak memenuhi standar keamanan ini diberikan sertifikat melaut. Sertifikat diberikan meski secara struktur kapal-kapal itu lebih tepat digunakan sebagai kapal pengangkut barang, bukan kapal penumpang.
Saat ini, Khairul melanjutkan, setidaknya ada 29 kapal di Muara Angke yang telah mengantongi sertifikat itu. Namun, meski bersertifikat, pengelola kapal sering mengangkut penumpang melebihi batas yang diizinkan. "Pengeola membawa alat pengaman sebanyak-banyaknya seolah-olah boleh membawa penumpang sebanyak-banyaknya," kata Khairul.
Seringnya kelebihan penumpang karena kapal-kapal yang tersedia tak bisa menampung warga dan wisatawan. Setiap akhir pekan, kata Khairul, sedikitnya ada 2.000 pelancong yang menyeberang. "Sementara kapal yang melayani hanya 29," kata dia.
Membludaknya wisatawan yang berakhir pekan di Kepulauan Seribu diakui Rasyid, salah seorang pengelola kapal. Ia mengatakan kapal miliknya maksimal mengangkut 60 orang. Namun di akhir pekan ia bisa mengangkut lebih banyak penumpang.
Jika hanya mengangkut penumpang sesuai dengan kuota yang ditetapkan, kata Rasyid, pihaknya rugi. "Kalau ada 100 penumpang dan yang saya angkut cuma 60 orang, bagaimana dengan yang 40. Rugi juga saya. Kalo diangkut semua salah juga saya," katanya.
Bupati Kepulauan Seribu Ahmad Lutfi mengakui bahwa kapal-kapal yang beroperasi dari Muara Angke ke Kepulauan Seribu tak didesain untuk mengangkut penumpang. Kapal-kapal itu, kata dia, aslinya adalah kapal barang yang dimodifikasi jadi kapal penumpang. "Saya usulkan agar dipersentase saja berapa persen untuk barang dan berapa persen untuk penumpang," katanya.
DWI RIAYNTO AGUSTIAR