TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya menemukan petunjuk baru kasus kematian mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) jurusan Biologi Universitas Indonesia, Akseyna Ahad Dori, 18 tahun. Petunjuk itu ditemukan penyidik di Danau Kenanga UI, Depok, tempat ditemukannya jenazah Akseyna.
Namun penyidik enggan membeberkan petunjuk yang didapat pada Minggu, 6 Desember 2015. "Petunjuk itu bisa menjadi titik terang, tapi kami belum bisa menyebutkannya," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti, Senin, 7 Desember 2015
Sebuah petunjuk yang tak diketahui ciri dan bentuknya itu ditemukan oleh penyelam gabungan Polda Metro Jaya dan tim TNI Angkatan Laut di dasar danau. Krisna menegaskan upaya pengungkapan kasus kematian Akseyna bekerja sama dengan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI dan TNI.
Hasil penelusuran tim penyidik yang dikirim ke luar daerah untuk mengungkap kasus kematian Akseyna pun tak dibeberkan. "Intinya kami tak pernah menghentikan penyelidikan dan terus bekerja," ujarnya. "Publik pun tak perlu tahu semua prosesnya."
Pengamat Psikologi Forensik dari Universitas Gadjah Mada, Reza Indragiri Amriel, berpendapat kasus kematian Akseyna bukan pembunuhan. "Sejak awal kasus ini mencuat, itu opini saya berdasarkan ilmu yang saya miliki," kata Reza saat dihubungi Tempo.
Namun publik sangat masif menganggap kasus ini pembunuhan. "Saya baru teringat, ini seperti teori publik opinion model," ujarnya.
Sebab, masyarakat beranggapan anak yang pintar tidak mungkin mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. "Padahal anak yang super pintar terisolasi dengan kehidupannya dan bisa mengalami keterasingan di lingkungan sosialnya," ujar Reza.
Reza pun menduga lambannya proses pengungkapan kasus kematian Akseyna ini karena polisi berhadapan dengan opini publik. Sebab, menurut publik opinion model, kerja penegakan hukum berlangsung dengan cara menyesuaikan diri dengan arus pandangan publik. "Diduga hasilnya kontras atau bertolak belakang dengan itu," ujar Reza.
Di luar pendapatnya itu, Reza meminta kepolisian dapat mengungkap tuntas kasus kematian Akseyna agar menghasilkan keadilan bagi korban dan keluarganya. "Saya turut berduka dan bersedih serta mendoakan agar kasus ini dapat terungkap," ujarnya.
Jenazah Akseyna yang ditemukan mengambang di Danau Kenanga UI pada 26 Maret 2015 terungkap setelah orang tuanya yang berasal dari Yogyakarta mendatangi Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur dan Polsek Beji, Depok. Orang tuanya mengenali ada kemiripan di hidung dan bentuk wajah korban.
Selanjutnya, orang tua melihat barang-barang korban berupa jaket, celana, kaus, payung, dan saputangan. Ayah korban pun langsung meyakini payung dan kaus korban itu sama seperti yang dibelikan ibunya. Sedangkan saputangan itu adalah milik ayahnya.
Awalnya, polisi menduga Akseyna bunuh diri karena sebelumnya curhat kepada ibunya bahwa dia merasa kecewa karena menjadi juara regional olimpiade Biologi, tapi tak diikutkan ke tingkat nasional. Selain itu, polisi juga menemukan kertas yang dipastikan ditulis oleh Akseyna, yakni "Will not return for please don’t search for existence my apologies for everything eternally."
Namun setelah polisi terus melakukan penyidikan, indikasi dugaan bunuh diri dibantahkan. Polisi menemukan indikasi adanya pembunuhan dalam kematian Akseyna.
YOHANES PASKALIS | AFRILIA SURYANIS