TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Setia Damayanti, mengatakan warga Kalijodo, Jakarta Utara, yang direlokasi ke Rumah Susun Marunda dan Pulogebang harus didampingi relawan.
"Pascarelokasi, rusun harus ada pendampingan, masyarakat tidak boleh dilepas," kata Setia dalam diskusi di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Kamis, 3 Maret 2016.
Pendampingan itu, kata Setia, sangat diperlukan mengingat kehidupan di rusun berbeda dengan rumah di daratan atau horizontal. "Di rumah susun ada ruang publik yang harus dijaga bersama, misalnya selasar atau taman yang bisa digunakan semua penghuni," kata Setia. Selain itu, penghuni juga tak bisa sembarangan menaruh barang di ruang publik itu.
Setia merekomendasikan Rumah Susun Cinta Kasih di Cengkareng, Jakarta Barat, sebagai model untuk semua rumah susun di DKI Jakarta. "Warganya dari bantaran Kali Angke, lebih berhasil karena mereka punya relawan," katanya.
Para relawan, kata Setia, mendampingi warga Rumah Susun Cinta Kasih dalam mengubah perilaku dan gaya hidup. "Dulu anak-anak di sana (pinggir kali) tidak punya cita-cita. sekarang bahkan ada yang kuliah di UI," tutur Setia.
Setia menjelaskan, secara lingkungan kehidupan di rusun memberi pengaruh baik untuk keluarga ketimbang di pinggir kali. Terutama bagi anak-anak. Di rusun, anak-anak bisa bermain di lapangan bermain. "Bantaran kali bukan tempatnya (anak-anak) untuk tinggal," kata Setia.
Namun demikian, menurut Setia, agar bisa menjalani kehidupan baru mereka di lingkungan yang berbeda, mereka membutuhkan pendampingan. Setia pun meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk melaksanakan program 7-P agar relokasi warga lebih humanis, yakni pendekatan, pemetaan, pendataan, penertiban, penataan, penempatan, dan pendampingan.
REZKI ALVIONITASARI