Warga dan juga pemuka agama melakukan aksi damai di depan kantor Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (28/8). Mereka menentang keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang penempatan kepala kelurahan Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai penolakan Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli bukan karena masalah suku, agama, dan ras (SARA). Dia melihat penolakan tersebut karena ketidakpuasan dari sebuah sistem yang baru dalam menempatkan Lurah Susan.
"Hal semacam ini wajar terjadi di dalam demokrasi, tidak hanya di Jakarta saja," kata Siti ketika dihubungi pada Senin, 30 September 2013. Lurah Susan dipilih berdasarkan hasil dari promosi terbuka alias lelang jabatan. Dalam lelang ini Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menguji semua calon melalui berbagai tes.
Siti melihat penolakan Lurah Susan lebih karena adanya oknum yang tidak puas dengan keberadaan lelang jabatan. Kemudian oknum ini mencoba mencari celah dan memanfaatkan Lurah Susan sebagai bentuk protes dari sistem lelang jabatan, sehingga potensi konflik semacam ini bisa terjadi di wilayah lain. "Hanya oknum tersebut mengambil momen keberadaan Lurah Susan," ujarnya. Siti berpendapat, selama ada persaingan dalam suatu jabatan pasti diikuti ketidakpuasaan dari pihak yang tersingkir.
Menurut Siti, langkah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menempatkan Lurah Susan pun bukan pertimbangan pribadi. Alasannya, sedari awal proses lelang ini melibatkan banyak tim termasuk dalam penempatan, sehingga ada dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
Siti percaya, tim yang terdiri dari lintas sektoral ini sudah paham akan kondisi sosial masyarakat sebelum menempatkan lurah atau camat. "Untuk itu, Lurah Susan tidak perlu terpancing emosi, stay cool saja," katanya. Hal ini malah bisa dijadikan momen untuk membuktikan kinerjanya.