Satpol PP Ulur Pembongkaran Vila Liar Puncak di Cisadon
Reporter
Linda hairani
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Jumat, 9 Maret 2018 10:20 WIB
TEMPO.CO, Bogor - Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor tetap akan mengirim surat peringatan pertama hingga ketiga sebelum membongkar vila liar Puncak di Blok Cisadon, Babakan Madang, Bogor. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, Herdi Yana, menepikan opsi eksekusi pembongkaran segera, sekalipun semua 15 vila dan bangunan dalam blok itu telah jelas menyerobot tanah hutan negara.
“Kami akan tetap menempuh proses ini: surat peringatan, penyegelan, lalu pembongkaran,” kata dia, Kamis 8 Maret 2018.
Herdi menjelaskan, prosedur yang dimulai dengan surat peringatan itu sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Satuan Polisi Pamong Praja, kata Herdi, juga menjalankan peraturan daerah dan mengutamakan rasa kemanusiaan. “Kami tak mengabaikan HAM, meski pemilik bangunan sudah jelas melanggar perda,” kata dia seperti dikutip Koran Tempo, Jumat 9 Maret 2018.
Baca: Penyebab KLHK Segel 362 Hektar Hutan Lindung dan Vila Liar Puncak
Menurut Herdi, pelaksanaan prosedur yang sesuai dengan peraturan itu juga bertujuan menghindari gugatan warga. Sebab, eksekusi tanpa surat peringatan berpotensi digugat karena dianggap tak sesuai dan melanggar hukum.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta bantuan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk membongkar vila liar Puncak di lahan seluas 368,68 hektare. Pembongkaran itu merupakan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung Nomor 1635 K/Pdt yang memenangkan Perhutani atas penguasaan lahan konservasi oleh pengusaha properti asal Poso, Sulawesi Tengah, Yulius Puumbatu.
Menerima surat itu, Herdi menyatakan menunggu rekomendasi dari dinas terkait ihwal pelanggaran vila liar Puncak. Dia mengatakan akan menerbitkan surat peringatan terhadap Yulius.
Namun Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Lita Ismu, mengatakan pembongkaran tak memerlukan surat peringatan. Sebab, Mahkamah Agung sudah menyatakan lahan itu dimiliki Perhutani. “Satpol PP tak perlu lagi menunggu surat rekomendasi dari kami untuk eksekusi,” kata dia dua hari lalu.
Lita mengatakan Perhutani juga dapat mengajukan permintaan eksekusi sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum. Pasal 25 aturan yang sama menyatakan petugas Satuan Polisi Pamong Praja dapat menegakkan perda tanpa surat teguran dari Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan.
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Sudrajat, berharap pembongkaran vila di Cisadon menjadi momentum kelanjutan penertiban di lahan konservasi. Menurut dia, pembongkaran bangunan tanpa pengawasan dan pengembalian fungsi lahan membuat pemilik vila liar Puncak kembali mendirikan bangunan. “Karena setelah dibongkar tidak diawasi lagi oleh petugas,” kata dia.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK, Indra Eksploitasia, menjelaskan lahan yang diklaim Yulius itu termasuk kawasan konservasi Bogor, Puncak, dan Cianjur, yang luas totalnya 9.200 hektare. Sebanyak 15 vila liar Puncak di atas lahan di Blok Cisadon harus dibongkar. “Kalau pemilik tak membongkar sendiri, akan kami bongkar paksa,” kata Indra.
Kuasa hukum Yulius, Agung Ahmad Wijaya, mengatakan pembongkaran bangunan oleh Satpol PP Kabupaten Bogor tak bisa dilakukan. Sebab, menurut dia, putusan Mahkamah Agung hanya menyatakan lahan tersebut milik negara. Putusan MA tak memerintahkan adanya eksekusi lahan dan Mahkamah Agung juga tak membatalkan penguasaan lahan oleh kliennya. “Saya luruskan, istilah gusur tidak akan terjadi,” kata dia.
KORAN TEMPO