TEMPO.CO, Jakarta - Berbeda pada paruh pertama tahun ini, di HUT Jakarta ke 491, pada tahun-tahun delapan puluhan (1980-an) tawuran antar remaja cukup marak. Mayoritas pelakunya adalah pelajar yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Terutama di DKI Jakarta.
Budayawan Arswendo Atmowiloto, 69 tahun, menuturkan perihal maraknya tawuran antar pelajar sebagai pelarian anak muda saat itu.
Pada tahun 1988, Majalah Hai menggagas pertemuan antarjagoan atau jawara saat itu. Pertemuan tersebut menjadi jembatan pertemuan antar sekolah yang sering berkonflik.
Sebab, untuk mengatasi perkelahian pelajar mesti mereka sendiri yang mengatasinya. Saat itu, tercetuskan pentas pelajar, yang belakangan menjadi pentas seni.
Pesta seni tersebut bertujuan untuk memutus mata rantai tawuran pelajar. Sebab, pentas tersebut diikuti sekolah yang sering tawuran. Dan Hai menjadi jembatan untuk ajang berkesenian mereka.
Menurut Arswendo, tawuran menjadi pelarian anak muda karena pada tahun tujuh puluhan sampai delapan puluhan kegiatan kesenian dan kebudayaan sangat dibatasi oleh kepemimpinan Orde Baru. Dan tahun delapan puluhan menjadi puncak tawuran remaja di Jakarta.
Menurut Arswendo, kesenian yang masih berkembang saat itu adalah musik. Namun, nasibnya pun terkekang. Jadi, yang berkembang hanya musik percintaan.
Sedangkan musik yang mengandung kritik sosial langsung dibungkam. Buku maupun karya sastra pun bernasip serupa. Peredarannya bakal segera dihentikan jika ada kritik sosial. Penulisnya pun langsung ditegur.
Begitu juga industri film era 1980-an dibandingkan saat ini ketika HUT Jakarta memasuki usia ke 491 tahun jauh berbeda. Yang berkembang era silam itu hanya genre percintaan dan hantu. "Semua serba larangan. Makanya ada pelarian seperti itu (tawuran)," demikian Arswendo Atmowiloto yang kini dosen dan penasehat di lembaga kesenian Sidomuncul.
Bir pletok merupakan salah satu minuman tradisional Betawi yang populer di Jakarta. Meskipun namanya bir, minuman ini tidak mengandung alkohol sama sekali.