Transjakarta memakai pembayaran non-tunai di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, 14 Desember 2017. Uji coba OK Otrip dilakukan selama tiga bulan mulai 15 Januari 2017 hingga 15 April 2017. Magang-TEMPO/ Naufal Dwihimawan Adjiditho
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Budi Kaliwono mengakui masih ada sejumlah kendala dalam penerapan OK OTrip di lapangan. Dia menunjuk contoh lambannya beberapa mesin tapping dan adanya sopir yang menerima ongkos tunai dari penumpang.
Budi menjelaskan Transjakarta bisa memberikan sanksi hingga pemutusan kontrak kerja sama jika operator angkutan kota yang tergabung dalam OK OTrip ketahuan mengutip ongkos tunai dari penumpang. “Si sopir pun akan dimasukkan daftar hitam,” katanya, Senin 1 Oktober 2018.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Sigit Wijatmoko juga mengakui jika masih ada sejumlah kendala dalam penerapan OK OTrip. Namun dia hanya menyatakan akan menindaklanjuti semua laporan dan pengaduan.
Ketua Koperasi Angkutan Kota Budi Luhur Saud Hutabarat menegaskan sopir yang tergabung dalam OK OTrip tidak boleh menerima uang tunai dari penumpang. Dia meminta masyarakat melaporkan jika ada sopir dari Koperasi Budi Luhur yakni OK 17 yang menerima atau meminta ongkos tunai.
Praktik menyimpang itu sebelumnya ditemukan Tempo ketika mencoba kembali sistem OK OTrip dengan menumpang angkot OK 17, rute Terminal Senen-Terminal Pulogadung. Dari 14 penumpang OK 17, ada empat orang yang memberikan uang tunai sekitar Rp 2 ribu hingga Rp 5 ribu pada sopir.
Satu penumpang OK 17, Risa, mengungkapkan terpaksa membayar ongkos tunai karena lupa membawa kartu OK OTrip. “Biasanya juga saya bawa, ini karena buru-buru saja,” tutur perempuan berusia 29 tahun itu.
Sopir menerima juga dengan alasan terpaksa. Gajinya sebesar Rp 3,6 juta per bulan disebutnya terlambat dibayar. “Gimana lagi, masak gak beli minum, makan, dan rokok,” keluhnya.