Instalasi daur ulang air limbah di Menara Jamsostek.
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi D Bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta Bestari Barus memperingatkan perusahaan swasta untuk tak ikut campur dalam pengelolaan air bersih di Ibu Kota. Bestari meminta Gubernur DKI Anies Baswedan menghentikan swastanisasi airsesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Menurut politikus Partai NasDem ini, sama seperti listrik, air merupakan kebutuhan vital yang diperlukan seluruh warga. "Mana bisa bareng kayak begitu kita serahkan kepada swasta? Jangan cawe-cawe di situlah. Itu biarlah untuk rakyat saja," kata Bestari di Gedung DPRD, Jakarta Pusat, Selasa, 9 April 2019.
Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD tersebut tak masalah jika penyetopan swastanisasi air bakal memberatkan APBD DKI asalkan distribusi air bersih menjangkau seluruh warga yang membutuhkan. Hingga saat ini, Bestari berujar, pemerintah daerah masih menghitung besaran biaya sesuai dengan opsi yang pernah disampaikan Anies, yakni mengakuisisi 100 persen saham dua perusahaan swasta, memutus kontrak, atau mengambil alih secara perdata.
"Berhitung itu pekerjaan paling susah. Ada situasi yang dilematis," ujar Bestari.
Swastanisasi air yang ditangani PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) berlangsung sejak 1997. Dengan alasan kualitas air buruk, 14 warga Ibu Kota mengajukan gugatan warga negara alias citizen law suit atas swastanisasi air pada 21 November 2012. Gugatan diajukan kepada beberapa pihak, di antaranya Presiden RI, Menteri Keuangan, Gubernur DKI, DPRD DKI, dan PAM Jaya.
Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga ditandai dengan surat keputusan yang teregistrasi Nomor 31 K/Pdt/2017 tanggal 10 April 2017. Namun, Menteri Keuangan memohon peninjauan kembali (PK) atas putusan hakim MA tentang gugatan swastanisasi air Jakarta dan permohonan itu disetujui pada Jumat, 30 November 2018.