Swastanisasi Air di Jakarta, Ini Empat Hal yang Jadi Sorotan KPK
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Dwi Arjanto
Minggu, 19 Mei 2019 12:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti beberapa hal terkait dengan swastanisasi air di Jakarta. Salah satu poinnya mengenai perjanjian atau head of agreement (HoA) PAM Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta.
Karena itulah, KPK bakal mengundang kembali pemerintah DKI untuk mengetahui kebijakan penghentian swastanisasi yang disepakati DKI.
Baca juga : HoA Swastanisasi Air Dibedah, PAM Jaya Minta Klarifikasi KPK
Sebelumnya, dua instansi ini pernah bertemu dan membahas swastanisasi pada Jumat, 10 Mei 2019.
1. Klausul perjanjian HoA berpotensi timbulkan masalah hukum
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyebut pihaknya mengendus adanya potensi masalah dalam klausul perjanjian HoA PAM Jaya dan Aetra. Salah satunya karena PAM Jaya memberikan eksklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di Jakarta.
Menurut Febri, klausul itu memperlihatkan, pemerintah DKI tak sepenuhnya menyetop swastanisasi penyediaan air bersih. Dia mengingatkan agar perjanjian dengan swasta tidak melanggar aturan, menguntungkan keuangan pemerintah, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
2. Bisnis dan kontrol pemerintah terhadap swasta
KPK juga mencermati bagaimana skema bisnis dan mekanisme kontrol PAM Jaya dengan dua perusahaan yang menjadi mitra swastanisasi. Kedua perusahaan itu, yakni Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
<!--more-->
KPK memperoleh informasi dari Tim Evaluasi Tata Air bahwa privatisasi pengelolaan air bersih yang berlangsung sejak 1998 hingga Desember 2016 justru merugikan pemerintah. Dalam catatan DKI, PAM Jaya selaku BUMD membukukan kerugian Rp 1,2 triliun. Sementara laba yang didapat swasta mencapai Rp 4,3 triliun.
KPK, Febri memaparkan, menilai laba swasta justru berbanding terbalik dengan kinerja dan target keterjangkauan air bersih. Dengan kata lain, produksi dan penyediaan ar bersih tidak sesuai harapan.
3. Penyebab kemunculan klausul kontrak
KPK menyoroti apa saja faktor-faktor yang menyebabkan klausul kontrak dengan swasta tidak mencerminkan kepentingan pemerintah. Febri mengutarakan, beberapa klausul kerja sama memberatkan pemerintah DKI.
Salah satunya kesepakatan pengembalian modal proyek atau internal rate of return (IRR) sebesar 22 persen dan kewajiban pemerintah menbayar defisit (shortfall) kepada swasta.
4. Skenario penghentian privatisasi
Tim Evaluasi Tata Air sebelumnya memberikan tiga opsi penghentian swastanisasi air. Opsi itu sudah disampaikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan.
Opsi pertama adalah status quo. Dengan opsi ini pemerintah menjamin keuntungan untuk Palyja 22 persen dan Aetra 15,8 persen.
<!--more-->
Artinya, meskipun PAM JAYA sedang dalam kondisi tak untung atau merugi, pemerintah tetap harus memberikan keuntungan kepada Aetra dan Palyja. Nilai jaminan keuntungan itu sebesar Rp 2,7 miliar per hari atau Rp 8,5 triliun jika kontrak terus berlanjut hingga 2023.
Keuntungannya jika Pemprov DKI memilih alternatif status quo ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya atas pengambilalihan fasilitas karena setelah kontrak selesai seluruh aset akan kembali.
Sebagai dampaknya, Pemprov DKI tak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan karena ada hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan.
Opsi kedua pemutusan kontrak sepihak. Dengan cara ini, masa kontrak yang seharusnya selesai 2023 menjadi lebih cepat empat tahun.
Baca juga : Aduan Swastanisasi Air, KPK Warning Anies Baswedan
Namun, pemutusan kontrak sepihak ini juga mengandung konsekuensi. PemprovDKI harus menanggung biaya terminasi sebesar Rp 1 triliun lebih untuk satu perusahaan.
Opsi terakhir terkait stop swastanisasi air, yaitu pengambilalihan pengelolaan secara perdata. Ada tiga cara pengambilalihan secara perdata antara lain membeli saham kedua Palyja dan Aetra, penghentian kerja sama, dan pengambilalihan secara bertahap Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA) oleh PD PAM Jaya. Dengan opsi ini pemerintah pun harus menggelontorkan biaya antara 1-2 triliun.