Unjuk Rasa di Depan Polda Metro, Emak-emak Kecam Kekerasan Polisi
Reporter
Adam Prireza
Editor
Dwi Arjanto
Minggu, 13 Oktober 2019 15:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Sekelompok ibu-ibu yang mengatasnamakan diri Wanita Indonesia menggelar unjuk rasa solidaritas Emak-emak Tabur Bunga di depan Kantor Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Jakarta Selatan, pada Ahad, 29 September 2019.
Mereka mengecam kekerasan dan penahanan yang dilakukan polisi terhadap sejumlah mahasiswa dan pelajar pada gelombang unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, akhir September lalu dan berbagai daerah..
“Hentikan kekerasan, bebaskan anak kami!,” teriak orator berkali-kali usai menyampaikan pendapatnya.
Koordinator aksi, Kokom Komalawati, 40 tahun, mengatakan kalau demonstrasi kali ini merupakan lanjutan dari aksi yang mereka lakukan 29 September lalu. Ia tak menutup kemungkinan kedepannya akan menggelar aksi serupa.
“Kami sedang berkoordinasi dengan emak-emak di berbagai daerah untuk menggalang solidaritas. Kami tidak ingin hal serupa terjadi kepada anak-anak yang lain,” tutur dia di lokasi.
Menurut pantauan Tempo, aksi tersebut tak hanya dihadiri oleh kaum ibu. Beberapa anak muda tampak berpartisipasi menyuarakan hal yang sama: meminta polisi mengusut tindak kekerasan yang dialami pelajar dan mahasiswa.
Para demonstran membawa berbagai macam poster yang menggambarkan kegelisahan mereka. Salah satu posternya bertuliskan, “#Anakku Sayang #Anakku Malang #Kamu Berjuang #Aparat Menendang.” Ada juga poster yang berisi permintaan agar pelajar yang mengikuti demonstrasi September lalu tak dikeluarkan dari sekolahnya.
Selain berorasi, demonstran juga menggelar aksi tabur bunga di atas seragam putih abu-abu khas pelajar SMA. Di samping seragam tersebut tertulis lima nama mahasiswa dan pelajar yang tewas selama aksi demonstrasi di Akhir September.
Mereka adalah Immawan Randi, M. Yusuf Kardawi, Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, dan Akbar Alamsyah. Para ibu-ibu kompak mengenakan pakaian yang didominasi warna hitam untuk menunjukkan rasa duka terhadap lima pelajar dan mahasiswa yang gugur dalam menyuarakan pendapatnya itu.
Seperti diketahui sebelumnya, polisi menangkap sejumlah orang dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh selama beberapa hari di akhir September lalu. Usai demonstrasi 30 September, polisi setidaknya menangkap 1.365 orang yang terlibat kerusuhan. Sebanyak 380 orang di antaranya ditetapkan, sementara 179 lainnya ditahan. Mereka terdiri dari masyarakat sipil dan pelajar.
Kabar kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani para demonstran pun santer diberitakan. Kelima orang demonstran yang meninggal sebelumnya diduga akibat mengalami tindak kekerasan oleh polisi.
Salah seorang mahasiswa yang menceritakan kebrutalan polisi saat demonstrasi di Kompleks Parlemen pada 30 September lalu adalah Muhammad Dzaki Izza Romadhon. Dzaki menuturkan, hari itu ia sempat mengikuti unjuk rasa di DPR. Namun, sekitar pukul 20.00 WIB, ia memutuskan pulang.
Tiba-tiba, ketika sedang berjalan di sekitar Pasar Palmerah, ada tembakan gas air mata ke arah massa yang memang berkumpul di sekitar area itu. Mahasiswa Binus ini pun kemudian mencari perlindungan di salah seorang rumah pendiuduk. Tak lama, anggota Brimob mendobrak masuk.
"Saya ditarik dari belakang. Saya dibanting, dipukuli, disikut di dalam rumah. Ditendang. Setelah saya lemas baru dibawa ke jalan raya. Lalu saya dihajar pakai helm dan ada yang menggunakan motor menabrak saya," kata Dzaki. Ia mengaku dikeroyok oleh 3-4 anggota Brimob usai demonstrasi mahasiswa saat itu.
ADAM PRIREZA | HALIDA BUNGA