Kasus OTT di UNJ: Ditangkap, Dilimpahkan, Dipulangkan

Minggu, 24 Mei 2020 13:07 WIB

Rektor UNJ, Komarudin. Twitter/Humas UNJ

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa operasi tangkap tangan atau OTT yang diduga melibatkan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Komarudin pada Rabu, 20 Mei lalu kembali menyingkap tabir korupsi di dunia pendidikan Indonesia. OTT tersebut dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam kasus ini, Komarudin diduga memberikan uang kepada pejabat di Kemendikbud dalam bentuk tunjangan hari raya atau THR. Namun belakangan, penanganan kasus ini menuai kritik dari pelbagai pihak, seperti oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).

Berikut 5 Fakta Kaus OTT di UNJ Tersebut.

1. Rektor UNJ Diduga Kumpulkan Rp 55 juta dari Bawahannya

Deputi Penindakan KPK, Karyoto menjelaskan bahwa kasus ini bermula saat Komarudin diduga meminta dekan fakultas dan lembaga lain di universitasnya untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor pada 13 Mei 2020. THR itu rencananya diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti dan beberapa staf SDM di Kemendikbud.

Advertising
Advertising

Selanjutnya pada 19 Mei 2020, terkumpul uang sebesar Rp 55 juta dari 8 Fakultas, 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana. Keesokan harinya, Dwi Achmad Noor membawa uang Rp 37 juta ke kantor Kemendikbud. Dia menyerahkan uang tersebut kepada Kepala Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 2,5 juta, serta staf SDM Parjono dan Tuti masing-masing sebesar Rp 1 juta. Setelah itu Dwi diciduk tim KPK dan Itjen Kementerian.

2. KPK Simpulkan Kasus Ini tak Miliki Unsur Penyelenggara Negara

Setelah melaksanakan OTT dengan Kementerian, komisi antirasuah menyimpulkan kasus ini tidak memiliki unsur penyelenggara negara. Menurut Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, status bukan penyelenggara negara itu merujuk kepada Kepala Bagian Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor yang tertangkap tangan oleh petugas, bukan Komarudin selaku Rektor.

Menurut Ali, jabatan Dwi tidak masuk dalam kategori penyelenggara negara seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara. KPK hanya bisa mengusut korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. “Yang tertangkap tangan ada satu orang yaitu DAN (Dwi Achmad Noor) dengan barang bukti menurut UU bukan masuk kategori Penyelenggara Negara,” ujar dia, Jumat, 22 Mei 2020.<!--more-->

3. KPK Limpahkan Kasus Kepada Polisi

Dengan alasan bahwa Dwi Achmad Noor bukan sebagai penyelenggara negara, KPK kemudian melimpahkan kasus ini kepada Kepolisian Sektor Jakarta Selatan pada Kamis malam, 21 Mei 2020. Keesokan harinya, kasus diambil alih oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.

"Penyerahan dari teman-teman KPK dalam bentuk satu dokumen dan tujuh orang yang diduga dari UNJ dan pegawai Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam konferensi pers melalui Instagram, Sabtu, 23 Mei 2020.

Deputi Penindakan KPK, Karyoto kembali menjelaskan bahwa Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merupakan dalil bagi pihaknya menyerahkan kasus kepada Kepolisian. Menurut dia, Dwi Achmad Noor tidak termasuk pejabat negara dalam pasal tersebut.

Pasal itu menyatakan, pejabat lain yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD; Pimpinan BI dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri, Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakna di lingkungan sipil, militer, dan Polri; Jaksa; Penyidik; Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Ilustrasi korupsi

4. Polisi Pulangkan 7 Terperiksa

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya telah melakukan gelar perkara pada Jumat malam, 22 Mei 2020. Hasilnya, polisi memutuskan memulangkan tujuh orang terperiksa dalam kasus ini dengan status wajib lapor. Mereka adalah Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor; Rektor UNJ, Komarudin; Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, Sofia Hartati; Kepala Biro SDM Kemendikbud, Diah Ismayanti; Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud, Tatik Supartiah serta dua staf SDM Kemendikbud, Parjono dan Dinar Suliya.

Walau ketujuh orang itu dipulangkan, Direktur Reserse Krimsus Polda, Komisaris Besar Roma Hutajulu berujar bahwa penyidikan tetap berlanjut. Pihaknya diklaim bakal mendalami konstruksi kasus ini. "Kami butuh keterangan saksi untuk membangun konstruksi peristiwanya," kata Roma saat konferensi pers yang disiarkan di Instagram, Sabtu, 23 Mei 2020.<!--more-->

5. Dirasa Janggal, Kasus Bakal Diadukan ke Dewan Pengawas KPK

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan bakal mengadukan kasus ini ke Dewan Pengawas KPK. Menurut Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, salah satu bentuk keamburadulan dari perkara OTT di UNJ ini adalah saat KPK melimpahkan kasus ke Kepolisian.

"Kalau KPK menyatakan tidak ada penyelenggara negara maka berarti telah ada teori baru made in KPK new normal," kata Boyamin Saiman, Jumat, 22 Mei 2020.

Kritik ihwal pelimpahan kasus juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan setidaknya ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang bisa digunakan KPK untuk menangani kasus ini. Pertama, dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ, Komarudin.

Ia mengatakan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. "Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara," ujar Kurnia.

Terlebih lagi, Kurnia melanjutkan, pada Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.

Kurnia mengatakan, dugaan kedua yang bisa digunakan KPK untuk menangani kasus ini adalah tindak pidana suap. KPK dinilai dapat membongkar latar belakang pemberian uang oleh pihak UNJ itu kepada pegawai Kementerian, apakah sekadar THR atau lebih dari itu.

M YUSUF MANURUNG | LANI DIANA | ANDITA RAHMA | ROSSENO AJI | JULNIS FIRMANSYAH

Berita terkait

Deretan Mobil Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung, dari Rolls Royce sampai Ferrari

6 jam lalu

Deretan Mobil Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung, dari Rolls Royce sampai Ferrari

Berikut sederet mobil Harvey Moeis yang telah disita Kejaksaan Agung.

Baca Selengkapnya

Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho, Ini Tugas Dewas KPK

10 jam lalu

Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho, Ini Tugas Dewas KPK

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewas KPK Albertina Ho. Berikut tugas dan fungsi Dewas KPK

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

11 jam lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

KPK Tak Kunjung Terbitkan Sprindik Baru Eddy Hiariej, Terhambat di Direktur Penyelidikan KPK atas Perintah Polri

11 jam lalu

KPK Tak Kunjung Terbitkan Sprindik Baru Eddy Hiariej, Terhambat di Direktur Penyelidikan KPK atas Perintah Polri

Sprindik Eddy Hiariej belum terbit karena Direktur Penyelidikan KPK Brijen Endar Priantoro tak kunjung meneken lantaran ada perintah dari Polri.

Baca Selengkapnya

Soal Sidang Etik Digelar pada 2 Mei, Nurul Ghufron Tuding Dewas KPK Tak Menghormati Hukum

12 jam lalu

Soal Sidang Etik Digelar pada 2 Mei, Nurul Ghufron Tuding Dewas KPK Tak Menghormati Hukum

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan telah melaporkan dugaan pelanggaran etik anggota Dewas KPK Albertina Ho sejak bulan lalu.

Baca Selengkapnya

Laporkan Dewas KPK Albertina Ho, Nurul Ghufron Klaim Informasi Transaksi Keuangan Merupakan Data Pribadi

14 jam lalu

Laporkan Dewas KPK Albertina Ho, Nurul Ghufron Klaim Informasi Transaksi Keuangan Merupakan Data Pribadi

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengklaim informasi transaksi keuangan merupakan data pribadi yang bersifat rahasia.

Baca Selengkapnya

Konflik Nurul Ghufron dengan Anggota Dewas Albertina Ho, KPK: Tidak Ada Berantem

21 jam lalu

Konflik Nurul Ghufron dengan Anggota Dewas Albertina Ho, KPK: Tidak Ada Berantem

Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan laporan Nurul Ghufron tersebut murni pribadi.

Baca Selengkapnya

Pengamat dan Aktivis Antikorupsi Bicara Soal Seteru di Internal KPK, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

23 jam lalu

Pengamat dan Aktivis Antikorupsi Bicara Soal Seteru di Internal KPK, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Aktivis dan pengamat antikorupsi turut menanggapi fenomena seteru di internal KPK, Nurul Ghufron laporkan Albertina Ho. Apa kata mereka?

Baca Selengkapnya

Laporan Dugaan Korupsi Impor Emas oleh Eko Darmanto Masih Ditindaklanjuti Dumas KPK

1 hari lalu

Laporan Dugaan Korupsi Impor Emas oleh Eko Darmanto Masih Ditindaklanjuti Dumas KPK

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, mengatakan laporan yang disampaikan bekas Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto, masih ditindaklanjuti.

Baca Selengkapnya

Albertina Ho Tanggapi Pernyataan Nurul Ghufron soal Surat Edaran Dianggap Tak Berstatus Hukum

1 hari lalu

Albertina Ho Tanggapi Pernyataan Nurul Ghufron soal Surat Edaran Dianggap Tak Berstatus Hukum

"Ah biar sajalah. Kan Ketua PPATK sudah bilang, ada aturannya kan," kata Albertina Ho.

Baca Selengkapnya