Dosen UGM Sebut Hakim Kasus Eks Pacar Mario Dandy Tak Paham, Anak Dianggap Orang Dewasa

Reporter

Desty Luthfiani

Editor

Sunu Dyantoro

Senin, 8 Mei 2023 11:55 WIB

Tersangka penganiayaan Cristalino David Ozora, Mario Dandy (ketiga dari kiri) dan pemeran pengganti sebagai korban Cristalino David Ozora (kedua dari kiri), pemeran pengganti pelaku AG (kedua dari kanan) dan Shane Lukas saat melakukan rekonstruksi kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora di Perumahan Green Permata Residences, Pesanggrahan, Jakarta, Jumat, 10 Maret 2023. Sebanyak 40 reka adegan dilakukan dalam rekonstruksi kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap korban Cristalino David Ozora. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Gadjah Mada atau UGM Yogyakarta menyatakan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak mempertimbangkan relasi gender dalam putusan sidang AG. Ia menganggap hakim tidak paham dengan peradilan anak terutama menyangkut pada anak perempuan.

Sri Wiyanti mengungkapkan perihal ini dalam diskusi seputar putusan sidang untuk AG atau AGH, Minggu, 7 Mei 2023. AG adalah eks pacar Mario Dandy Satriyo, tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap D. Korban dalam kasus ini, D, merupakan anak pengurus Gerakan Pemuda Ansor. D sempat koma dan kini menjalani terapi untuk pemulihannya.

Dalam kasus AG, Sri melihat anak dipandang sebagai orang dewasa dan hal ini berdampak besar bukan hanya sekedar masalah hukum terutama pada putusan yang menjadikan pusat konstruksi seksualitas dalam perbincangan fakta.

“Problem ini lebih besar daripada sekedar putusan tapi lebih ke masalah hukum. Nah yang menjadi penting dan utama dalam putusan ini adalah bagaimana konstruksi seksualitas gender dan perempuan itu dijadikan center dalam perbincangan fakta. Ini yang menurut saya menjadi penting. Nah saya menekankan bagian aspek kedua berkaitan dengan struktur fakta,” katanya, Ahad, 7 Mei 2023.

Ia menilai hakim hanya merujuk pada KUHP padahal masih banyak dasar hukum mengacu pada aturan-aturan perlindungan-perlindungan dan hak perempuan. Terutama pada anak yang lebih sensitif. Hakim juga dianggap mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Pasal 5 Tahun 2017 yang berbunyi.

Advertising
Advertising

Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh:

a. Mengeluarkan sikap dan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum.
b. Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
c. Mempertanyakan atau mempertimbangkan mengalami pengalaman atau latar belakang seksualias korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.
d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang stereotip gender.
Sama halnya dengan prinsip hak anak berhadapan dengan hukum antara usia 12 sampai 18 tahun. Prinsipnya non diskriminasi , kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang dan penghargaan terhadap pendapat anak.

“Sayangnya kalau kita lihat dalam konstruksi yang ada, menurut saya, sangat diabaikan termasuk prinsip hak anak. Walaupun anak berkonfilik dengan hukum, dia tidak boleh didiskriminasi, berbasis gender kepentingan yang terbaik bagi anak dan sebagainya,” ucapnya.

Ia menyebut, hakim hanya formalitas menerapkan Sistem Peradilan Pidana Anak dan tidak berbasis pada prinsip dan kepentingan anak. Ini karena sidang dipercepat dengan dalih mengutamakan sidang anak. Namun, jatuhnya memberatkan putusan. “Maksudnya baik, mengutamakan sidang anak, tapi mengutamakan sidang anak berbalik pada merugikan anak dan menghilangkan kepentingan yang terbaik bagi anak,” tuturnya.

Menurut dia, bias relasi gender juga terlihat dari pemaparan fakta di persidangan soal penyebab Mario Dandy melakukan penganiayaan, yakni persetubuhan yang dilakukan D ke AG. Padahal, Dandy sudah masuk dalam usia dewasa. Normalnya, kata dia, seorang lelaki dewasa akan bisa berpikir jernih dalam melihat sesuatu permasalahan dan mempertimbangkan sebab akibat.

"Kenapa anak dianggap sebagai penyebab, karena dia melakukan hubungan seksual dengan bukan pacarnya tapi mantan pacarnya. Itulah yang menyebabkan semua orang emosi. Jadi emosi itu dianggap sebagai tanggung jawab si AG . Jadi orang dewasa emosi, yang menimbulkan emosi adalah anak yang bersalah, bukan orang dewasaanya. Itu perspektif mereka,” katanya.

Baca juga: Kuasa Hukum Masih Pertanyakan Keputusan Jaksa Hadirkan AG di Sidang Vonis Kasus Mario Dandy

Hakim dinilai abaikan fakta

Sri Wiyanti menyebutkan, fakta yang diabaikan hakim juga soal pernyataan putusan yang berbunyi. ‘Dan bahkan aparat penegak hukum mengamini dengan kata tanpa sepengetahuan Mario, anak pergi dengan anak korban ke kontrakan’.

Diksi yang dipakai hakim dalam berkas putusan itu, dinilai Sri, status hubungan pacar mempunyai hak segalanya. Termasuk mengerti aktivitas yang dilakukan satu dengan yang lain. “Jadi seolah-olah pacarnya harus tahu apa yang terjadi. Seolah-olah pacarnya harus mengerti apa yang terjadi dan kalau ada apa-apa, dia punya kuasa. Dia memiliki anak yang menjadi pacarnya. Ini mengerikan sekali,” ucapnya.

Sri juga menyinggung soal fakta persidangan, yang hakim sampaikan soal AG, yang melakukan persetubuhan dengan Dady dan dianggap sebagai kesalahan AG. Padahal dalam aturannya, orang dewasa yang melakukan persetubuhan dengan anak masuk dalam kategori kekerasan. Hal ini diatur dalam KUHP, UU tindak pidana, UU Perlindungan anak, RUU KUHP dan UU TPKS. Menurutnya, hakim tidak paham dengan aturan tersebut. “Jadi, ini hilang. Hakim seolah-olah enggak paham ada fakta hukum. Menyedihkan, ini malah digunakan untuk menyalahkan AGH dan berat posisinya dalam sistem hukum,” bebernya.

Menurut dia, yang kerap terjadi adalah pemberian stigma kekerasan seksual di Indonesia, meski aturannya sudah tertera jelas. Masyarakat banyak yang mengilhami bahwa kekerasan seksual tersebut hanya karena unsur paksaan. Perspektif bias ini semakin ketara dengan putusan hakim yang seharusnya dalam menjatuhkan vonis netral tanpa campur tangan pihak lain.

“Bahwa dianggap kekerasan itu kalau ada paksaan yang nyata sementara yang ada kekerasan tindak pidana seksual itu harus dimaknai luas. Tidak serta-merta kondisi fisik melainkan kondisi-kondisi rentan yang berpengaruh pada terjadinya kekerassan,” ucapnya.

Pilihan Editor: 5 Fakta Vonis AG Eks Pacar Mario Dandy: Jaksa Diminta Ajukan Banding dan Biaya Pengobatan D Rp 1,2 M

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

Siswa MTs di Semarang Diduga Aniaya Adik Kelas Pakai Setrika karena Ajakan Jabat Tangan Tak Direspons

14 menit lalu

Siswa MTs di Semarang Diduga Aniaya Adik Kelas Pakai Setrika karena Ajakan Jabat Tangan Tak Direspons

Seorang siswa Madrasah Tsanawiyah atau MTs di Susukan, Kabupaten Semarang diduga menganiaya adik kelasnya menggunakan setrika di asrama

Baca Selengkapnya

Sosok Dian Andriani Anggota Korps Wanita TNI AD Pertama Berpangkat Mayjen

10 jam lalu

Sosok Dian Andriani Anggota Korps Wanita TNI AD Pertama Berpangkat Mayjen

Dian Andriani merupakan perempuan pertama yang mencapai pangkat Mayjen TNI AD di Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad).

Baca Selengkapnya

Israel Ancam Serang Rafah, Uni Emirat Arab Rasakan Ketegangan Meningkat

15 jam lalu

Israel Ancam Serang Rafah, Uni Emirat Arab Rasakan Ketegangan Meningkat

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab memperingatkan adanya peningkatan ketegangan di Timur Tengah menyusul meluasnya invasi tentara Israel ke Rafah.

Baca Selengkapnya

Dipukul dengan Paving Blok saat Tidur, Ayah Tewas Dibunuh Anak di Tangerang

1 hari lalu

Dipukul dengan Paving Blok saat Tidur, Ayah Tewas Dibunuh Anak di Tangerang

Mustari, 60 tahun, mati di tangan anak kandungnya sendiri setelah mengalami luka di bagian kepala akibat dipukul menggunakan paving block di Tangerang

Baca Selengkapnya

Catat, UGM Yogyakarta Gelar Festival Anggrek Akhir Pekan ini di Sleman

1 hari lalu

Catat, UGM Yogyakarta Gelar Festival Anggrek Akhir Pekan ini di Sleman

Penggemar tanaman anggrek yang berencana melancong ke Yogyakarta akhir pekan ini, ada festival menarik yang bisa disaksikan.

Baca Selengkapnya

Hakim Kanada Tolak Perintahkan Pembubaran Demo Pro-Palestina di Kampus

2 hari lalu

Hakim Kanada Tolak Perintahkan Pembubaran Demo Pro-Palestina di Kampus

Hakim Kanada menegaskan Universitas McGill tidak dapat membuktikan terjadi kekerasan dalam demo pro-Palestina

Baca Selengkapnya

Polisi Bebaskan Korban Begal yang Jadi Tersangka karena Bunuh Pelaku

2 hari lalu

Polisi Bebaskan Korban Begal yang Jadi Tersangka karena Bunuh Pelaku

Polisi membebaskan pria berinisial FH, seorang korban begal yang sempat dijadikan tersangka karena membunuh pelaku begal berinisial E.

Baca Selengkapnya

Polisi Bebaskan Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan di Jambi, Pakai Pasal Pembelaan Terpaksa

2 hari lalu

Polisi Bebaskan Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan di Jambi, Pakai Pasal Pembelaan Terpaksa

Polisi menghentikan proses penyidikan kasus pembunuhan pelaku begal di Jambi dan membebaskan korban pembegalan.

Baca Selengkapnya

Peringati Hari Nakba ke-76, Duta Besar Al-Shun Teringat Penderitaan Rakyat Palestina

3 hari lalu

Peringati Hari Nakba ke-76, Duta Besar Al-Shun Teringat Penderitaan Rakyat Palestina

Dubes Palestina untuk Indonesia mengecam tindakan Israel di Palestina dalam peringatan 76 tahun Hari Nakba.

Baca Selengkapnya

Kecewanya Calon Taruna STIP Asal Flores, Rela Cuti Kuliah Demi Menggapai Cita-cita Pelaut

3 hari lalu

Kecewanya Calon Taruna STIP Asal Flores, Rela Cuti Kuliah Demi Menggapai Cita-cita Pelaut

Banyak calon taruna STIP dari berbagai daerah yang mendaftar ke sekolah kedinasan di bawah Kemenhub itu. Tahun ini tidak menerima mahasiswa baru.

Baca Selengkapnya