Cuaca Ekstra Panas dan Kering di Jabodetabek, Tetap Waspada Hujan Ekstrem
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 21 Desember 2023 14:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jabodetabek dan daerah lainnya di Pulau Jawa mengalami cuaca panas dan kering yang lebih kuat daripada daerah lainnya di Indonesia. Kondisi panas dan kering yang saat ini terjadi disebabkan adanya El Nino yang kuat, dan diperparah sejumlah faktor lainnya.
Di antara faktor lainnya tersebut adalah intrusi udara kering dari selatan. Ini seperti yang dituturkan klimatolog dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, kepada TEMPO pada Selasa, 19 Desember 2023.
Erma menjelaskan, angin yang mendominasi di Pulau Jawa saat ini adalah angin selatan. Dan, massa udara yang berasal dari Samudera Hindia di selatan Jawa saat ini sangat kering.
Tak ada pembentukan awan hujan di sana karena fenomena Indian Ocean Dipole yang positif (mirip El Nino di Samudera Pasifik), selain fenomena Madden Julian Oscillation juga sedang inaktif. "Ini semakin mereduksi potensi pembentukan awan di Samudera Hindia untuk ke wilayah Indonesia," kata Erma.
Ditambah dengan adanya pengaruh dari Australia yang sedang mengalami musim panas, Erma mengatakan, "Situasi panas dan kering ini lebih terasa di Pulau Jawa daripada pulau-pulau lainnya."
Sementara, di utara Indonesia, ada faktor pembentukan bibit Siklon Tropis Jelawat di Laut Filipina dan depresi tropis di Samudera Pasifik di utara Papua. Kedua pusat tekanan rendah tersebut berperan pula menahan awan-awan konvergensi bisa sampai ke wilayah Indonesia. "Mereka terblokir di wilayah tersebut," kata Erma.
El Nino dan Potensi Hujan Ekstrem
Untuk faktor El Nino, Erma mengungkap kekuatannya memuncak di periode Desember ini serta Januari dan Februari mendatang. Setelah memuncak, pengaruh El Nino diperkirakan masih akan berlanjut setidaknya sampai Mei dan Juni nanti.
Erma menyarankan agar dilakukan mitigasi atas dampak yang berupa defisit curah hujan. "El Nino masih akan berlangsung 5-6 bulan mendatang," katanya sambil mengingatkan pola yang sama pernah terjadi saat musim hujan 1997 lalu. Saat itu defisit curah hujan disebutnya sampai 50 persen dibandingkan rata-rata klimatologis musim hujan di Indonesia.
Curah hujan yang jauh berkurang tak berarti nihil hujan ekstrem di sepanjang musim hujan hingga Februari nanti. Hujan ekstrem disebut Erma mungkin terjadi setelah dry spells atau deret hari kering tanpa hujan yang panjang. Ini, diterangkannya, adalah salah satu konsekuensi dari tertahannya uap air atau ketidakstabilan di atmosfer yang sekian lama.
"Perlu diwaspadai karena dia akan jatuh dalam kondisi ekstrem curah hujannya karena sudah lama tertahan di atmosfer," kata Erma.
Pilihan Editor: Bisnis Penitipan Kendaraan di Stasiun Serpong Terdampak Pemagaran Akses oleh KAI