TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch atau ICW meminta Dewan Pengawas tetap menyelenggarakan agenda pembacaan putusan atas sidang pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh Nurul Ghufron, meski adanya putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. “Kami minta Dewas KPK tak ragu untuk menjatuhkan sanksi berat kepada yang bersangkutan,” kata Peneliti ICW Diky Anandya, Selasa, 21 Mei 2024.
ICW meminta Dewas KPK menjatuhkan hukuman kepada Nurul Ghufron berupa, “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan” sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Perdewas Nomor 3 Tahun 2021. Dalam putusan sela PTUN, memerintahkan agar Dewas KPK menghentikan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik Nurul Ghufron. Majelis Hakim PTUN Jakarta mengeluarkan putusan pada Senin, 20 Mei 2024. “Bagi ICW, perintah dalam putusan sela tersebut keliru dan tidak didasarkan pada pertimbangan yang objektif,” katanya.
Diky menuturkan, berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan ruang bagi penggugat untuk mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan TUN ditunda selama proses pemeriksaan sengketa TUN. “Tapi dalam ayat 4 huruf a, Pasal a quo, bahwa penundaan hanya dapat dilakukan dalam kondisi terdapat keadaan yang sangat mendesak yang dapat merugikan tergugat,” katanya.
Bagi ICW, untuk menilai adanya “keadaan yang sangat mendesak” harus dilihat secara objektif, di mana ada kepentingan umum dari masyarakat yang turut mendesak pimpinan KPK yang berintegritas dan beretika yang harus dipertimbangkan. “Ketimbang kepentingan personal Nurul Ghufron,” ucapnya.
Diky juga mengatakan, perintah PTUN untuk menunda proses pemeriksaan etik terhadap Ghufron sudah tak tepat karena semua proses pemeriksaan sejatinya telah selesai dilakukan oleh Dewas kepada Ghufron. “Putusan sela itu tak mempengaruhi agenda pembacaan putusan sidang etik,” ujarnya.
Sementara Ghufron meminta sidang pembacaan putusan sidang etik atas penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana putusan sela Majelis Hakim PTUN Jakarta. Ghufron menggandeng tujuh kuasa hukum dalam menghadapi Dewas KPK dengan menempuh berbagai langkah hukum sebagai pembelaan hukum, mulai dari mengajukan Judicial Review di Mahkamah Agung, gugatan PTUN, dan melaporkan pidana ke Bareskrim Polri.
“Sebenarnya kami sudah mengajukan permohonan gugatan ini sejak tanggal 24. Dan sejak itu kami meminta segera adanya putusan sela," kata Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin, 20 Mei 2024.
Dia berkata telah menyampaikan penolakannya untuk diperiksa oleh Dewas KPK atas kasus dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, Dewas KPK tidak merespons. "Saya sudah sampaikan secara lisan, tidak direspons. Saya sampaikan secara tertulis pada tanggal 29, juga tetap naik kasusnya, maka caranya karena sudah mentok, saya lakukan gugatan PTUN," ujarnya.
BAGUS PRIBADI | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
Pilihan Editor: Pesan Eks Penyidik ke Nurul Ghufron untuk Tidak Bikin Gaduh KPK: Kalau Tidak Salah, Ikuti Saja Prosesnya