ICW Sebut Tunjangan Perumahan Anggota DPR sebagai Pemborosan Uang Negara
Reporter
Dani Aswara
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Jumat, 11 Oktober 2024 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemberian tunjangan perumahan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 sebagai bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Sekretariat Jenderal DPR telah mengeluarkan kebijakan bahwa anggota DPR akan diberikan tunjangan perumahan dan tidak diberikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA).
Hal ini diatur dalam surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang telah ditandatangani pada 25 September 2024. ICW membandingkan pola belanja untuk pengelolaan RJA pada periode 2019-2024 dengan penghitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR selama satu periode.
“Total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan,” kata Staf Divisi Korupsi Politik Seira Tamara dalam rilis pers ICW, 10 Oktober 2024.
ICW melakukan penelusuran melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Terdapat 27 paket pengadaan dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada tahun 2024 untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar. Hal ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota DPR dapat menempati rumah dinas.
ICW juga menghitung tunjangan yang nantinya akan didapatkan oleh 580 anggota DPR selama 2024-2029. Berdasarkan penelusuran dari sejumlah media, Indra Iskandar selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR menyampaikan bahwa per bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta. Jika dikalkulasi, maka hasilnya sebagai berikut:
Bila tunjangan perumahan yang diberikan sebesar Rp50 juta:
580 x Rp50 juta x 60 bulan = Rp1,74 triliun
Bila tunjangan yang diberikan sebesar Rp70 juta:
580 x Rp70 juta x 60 bulan = Rp2,43 triliun
Jika diterapkan, ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Perhitungan tersebut didapatkan dari pengurangan antara tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumah jabatan anggota DPR menggunakan mekanisme pengadaan.
Sebelumnya, Sekjen DPR berasalan pemberian tunjangan itu untuk kepentingan fleksibilitas bagi anggota dewan dalam mengelola dan memilih rumah dinasnya sendiri. Sedangkan pemberian fasilitas rumah dinas DPR harus dilihat dari esensi awalnya, yaitu sebagai fasilitas yang dimaksudkan untuk menunjang kinerja mereka.
Bentuk peralihan fasilitas rumah fisik menjadi tunjangan, akan sulit mengawasi penggunaan tunjangan tersebut untuk kebutuhan yang sesuai. Terlebih tunjangan tersebut ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan.
“Minimnya akses pengawasan ini pada akhirnya tak hanya berdampak pada pemborosan anggaran tetapi juga potensi penyalahgunaan,” kata ICW.
ICW mendesak, agar Sekjen DPR mencabut surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang salah satu poinnya berkaitan dengan pemberian tunjangan perumahan DPR. Anggota DPR mestinya tetap menggunakan rumah dinas tanpa pemberian tunjangan perumahan. Selain itu, Sekretaris Jenderal DPR diminta melakukan perbaikan terhadap rumah dinas yang rusak disertai dengan proses pengadaan yang transparan dan akuntabel.
Pilihan Editor: Komnas HAM Terkejut Gaji Pensiunan Kemenlu Belum Dibayarkan Selama 51 Tahun