Warga Cina Benteng Rayakan Imlek Tanpa Bunga Mehwa
Minggu, 22 Januari 2012 11:33 WIB
TEMPO.CO, Tangerang - Warga Cina Benteng menyambut perayaan Imlek dengan kesederhanaan. Sebagian besar dari mereka tak mampu membeli baju baru, bunga mehwa, atau kue keranjang.
Yan Kan, warga Kampung Eretan, Bansin Karawaci Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, misalnya, lebih memilih bekerja ketimbang libur menyambut Imlek. "Cari uang saja susah, makanya tetep narik perahu," kata Yan Kan, pengojek perahu di Sungai Cisadane, Ahad 22 Januari 2012.
Yan mengatakan tarif mengantar penduduk ke Pasar Anyar dipungut sukarela. Yan menerima Rp 1.000 sampai Rp 3.000. Seharian dia bisa mengantongi Rp 40 ribu untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Khusus untuk merayakan tahun baru Imlek keluarga Yan meski tidak mampu membeli baju baru, tapi berharap bisa membeli daging babi dan kue kering sebagai panganan. "Ya kami berkumpul makan bareng, anak-anak terima angpao dari saudara yang lebih rezekinya," kata Yan.
Menurut Eddy Lim, Ketua Forum Masyarakat Kampung Benteng, mayoritas warga etnis Cina Benteng hidup pas-pasan, sehingga tidak bisa bermewah-mewah saat Imlek. "Kami ini terbiasa hidup sederhana dan apa adanya. Karena itu, biarpun mau Imlek, kami selalu prihatin," ujar Lim.
Bagi warga Cina Benteng pengakuan dan legalitas dari pemerintah adalah jauh lebih penting ketimbang perayaan Imlek. Mereka juga tetap bertahan di rumah-rumah yang rata-rata beratap daun rumbia, di pinggir Sungai Cisadane.
Namun tidak semua warga Cina Benteng hidup di bawah garis kemiskinan. Keluarga Jaya Tan di Kampung Tegalsari, Kota Tangerang, menyambut Imlek dengan menata bunga mehwa merah jambu di altar rumahnya. Di altar setinggi 1 meter di ruang tengah itu juga tampak kue keranjang susun sembilan yang dibungkus hiasan kertas warna-warni. Tampak di langit-langit rumah itu juga dipasang
lampion, semarak warna merah.
Di kawasan Tegal Sari banyak bermukim kaum Cina Benteng. Di sini juga banyak dijual kue keranjang olahan dari bahan ketan putih dan gula putih yang menghasilkan kue pekat cokelat dibungkus daun pisang.
Banyak para wanita keturunan Tionghoa datang membeli kue keranjang untuk pelengkap perayaan Imlek yang dijual setahun sekali itu.
Harganya Rp 9.000 untuk satu buah keranjang dengan berat sekitar 250 gram.
Bagi Jaya, kue keranjang adalah warisan turun-temurun keluarganya. Bagi dia, Tahun Baru Tionghoa atau Imlek yang jatuh pada 23 Januari 2012 adalah tradisi leluhur yang harus ia rayakan bersama keluarganya. "Kami pergi ke makam, berkunjung ke kerabat dan berkumpul untuk makan-makan," katanya.
Pendek kata, setiap tahun ia memaknai Imlek dengan sesuatu kerja keras lebih baik dari tahun sebelumnya. Jaya membuktikannya dengan setiap tahun menambah susunan kue keranjang di altar rumahnya.
Tak hanya Jaya yang bergembira siang itu, warga keturunan Tionghoa di kawasan di mana Jaya tinggal juga menyambut Imlek sebagai hari yang cerah dan bahagia. Lamat-lamat suara musik gambang kromong terdengar dari rumah-rumah penduduk.
AYU CIPTA
BERITA TERPOPULER LAINNYA:
Penuh Rezeki di Tahun Naga Air
Mengapa Tionghoa Pilih Berdagang Ketimbang Politik
Kisah Cina Muslim Penjaga Wihara