TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan Kementerian Agama tidak menyediakan anggaran untuk menikahkan pengantin di luar Kantor Urusan Agama. Selama ini biaya pencatatan nikah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2004, adalah Rp 30 ribu per peristiwa nikah.
Menurut Nasaruddin biaya Rp 30 ribu itu untuk pelayanan pernikahan di dalam kantor KUA. “Tidak ada tambahan apapun kalau mau menikah di dalam kantor KUA pada hari dan jam kerja,” ujar dia saat dihubungi Temp, Minggu, 23 Desember 2012.
Namun, menurut Nasaruddin, kebanyakan masyarakat menikah di luar KUA dan selalu di luar hari dan jam kerja. Menurut dia, masyarakat Indonesia banyak yang enggan menikah di kantor KUA karena sudah terlanjur menempel citra yang tidak baik jika menikah di kantor KUA. “Pasti dipikirnya hamil duluan atau ada apa-apa,” ujarnya.
Hasil riset Balai Penelitianan dan Pengembangan Agama Jakarta Kementerian Agama yang dilakukan pada 2010 menunjukkan biaya faktual yang yang dikeluarkan warga Jakarta saat mencatatkan nikah di KUA berkisar dari Rp 150 ribu-1 juta. Selain karena ada pemberian dari masyarakat, “Pembengkakan ini terjadi karena petugas atau penghulu KUA membiarkan budaya menerima uang di luar biaya resmi,” bunyi kesimpulan penelitian tersebut.
Nasaruddin menyalahkan kebiasaan masyarakat yang memberikan uang kepada penghulu sehingga melambungkan biaya pencatatan nikah. Dia menganggap biaya tambahan diterima sebagai penghargaan masyarakat kepada penghulu karena melayani di luar jam kerja dan di luar kantor. “Saya enggak tahu itu masuk gratifikasi atau tidak,” kata Nasarudin. “Masalah ini memang masih dilematis.”
Padahal, menurut Inspektur Jenderal Kementerian Agama M Jasin, meski diberikan secara ikhlas, uang tambahan atau pungutan liar itu dapat dikategorikan sebagai suap maupun gratifikasi (hadiah). Sebab, kata dia, para penghulu termasuk pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak boleh menerima hadiah apapun terkait dengan tugasnya. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama menemukan potensi korupsi dalam pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama di semua wilayah Indonesia mencapai Rp 1,2 triliun setiap tahun.