Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, mengatakan penunjukan langsung dipilih karena pada awalnya tak ada perusahaan yang berminat menjadi operator busway. Para pemilik trayek yang tergusur busway diberi keistimewaan, menurut dia, untuk menghindari main gusur. "Supaya tidak ribut, ini darurat," kata dia seperti dikutip dari majalah Tempo 28 Juni 2009.
BLU mengajukan harga sebesar Rp 13.200 per kilometer. Harga pun disepakati sebesar Rp 12.885 per kilometer. Koridor-koridor tersebut akhirnya beroperasi dengan harga itu sesuai surat perintah kerja dari Kepala BLU Victor Tampubolon, dengan catatan harga akan disesuaikan jika tercapai kesepakatan.
Namun kemudian diketahui bahwa pembayaran yang dilakukan oleh BLU kepada konsorsium-konsorsium tersebut merugikan negara. Nilainya mencapai Rp 25-30 miliar setahun. Penunjukan langsung membuat ongkos membengkak dibandingkan dengan penunjukan melalui tender. Lorena memenangi tender untuk Koridor V dan VII dengan harga Rp 9.443 per kilometer. Primajasa menang dengan harga serupa untuk Koridor IV dan VI.
BLU mengajukan harga hasil lelang ke konsorsium sebagai tarif final. Namun konsorsium tidak sepakat hingga akhirnya melayangkan gugatan terhadap Pemprov DKI Jakarta ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. (Baca: Bus Bekarat Terancam Dikembalikan)
Belakangan BLU yang namanya sudah berubah menjadi Unit Pengelola Transjakarta ini sedikit tersandung oleh pihak ketiga. Sejumlah bus yang dibeli Pemprov DKI diketahui tak dalam kondisi baik. Pihak agen tunggal pemegang merek selaku importir beralasan bahwa kerusakan diakibatkan angin laut. (Baca: Edsus Busway Bekas Jokowi)
NINIS CHAIRUNNISA