Keluarga korban Yety Pramutia sedang mencari keluarganya korban kebakaran kapal motor Zahro Express yang terbakar di Jakarta, 1 Januari 2017. Tempo/Avit
TEMPO.CO, Jakarta - Suara tangis bocah itu memecah ruang tunggu sempit di lantai II Kantor Pelabuhan Kali Adem, Jakarta Utara. Mutia Sahlah, 9 tahun, dan kakaknya Muhammad Yasir (11), selama lebih dari dua jam memanggil-manggil nama ibunya, Yety Pramutia (34).
Mereka sekeluarga adalah korban kapal Zahro Express yang terbakar di Teluk Jakarta, Ahad, 1 Januari 2017. Mereka seharusnya bertolak ke Pulau Tidung untuk mengunjungi keluarga sang ibu di sana. Rencananya, mereka juga akan menghabiskan waktu liburan di Pulau Tidung selama beberapa hari.
Namun, takdir menentukan lain. “Mama, mama di mana?.” Kata-kata Mutia berderu dengan suara tangisnya. Ayah mereka, Ahmad Hiyazi (44) mencoba menenangkan dengan memeluk erat kedua anaknya.
Mereka kebingungan mencari pertolongan. “Istri saya masih belum ditemukan,” ujar Hiyazi kepada Tempo saat ditemui di ruang tunggu pelabuhan. Wajah mereka memerah, haru-biru dipenuhi keringat dan air mata.
Ruang tunggu itu pengap. Petugas pelabuhan, BPBD DKI Jakarta, dan kepolisian mondar-mandir memenuhi lorong dan menempelkan kertas berisi nama-nama korban yang masih hidup dan sudah meninggal. Namun, nama Yety tak kunjung muncul.
Semua orang panik mencari keluarga masing-masing. Keluarga Hiyazi kemudian berdatangan ke pelabuhan untuk menemuinya. Satu di antara anggota keluarga menunjukkan foto Yety kepada Tempo. “Mas tolong carikan istri saya,” kata Hiyazi.
Tempo mencoba membantu mencari nama penumpang Yety Pramutia. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, menganjurkan agar keluarga menghubungi pusat call center BPBD DKI Jakarta di nomor 112.
Petugas call center juga tak menemukan nama Yety. Mereka memberi tahu bahwa sebagian korban yang masih hidup dirawat di Rumah Sakit Atmajaya. Sisanya, ada 20 korban meninggal yang dikirim ke kamar jenazah Rumah Sakit Polri, Kramatjati. Rata-rata korban meninggal karena ikut terbakar di atas kapal.
Tapi Hiyazi mengatakan, istrinya saat itu sudah terjun ke dalam laut. Ia yakin, istrinya tidak menjadi satu di antara korban meninggal yang terbakar itu. “Anak saya melihat mamanya sudah terjun ke laut,” ujarnya. “Dia sudah mengenakan pelampung.”
Saat kejadian Hiyazi bergegas menyelamatkan kedua anak dan istrinya. Ia mencari pelampung. Ia melihat api sudah membara melalap sebagian badan kapal. Setelah mendapatkan pelampung ia merangkul anaknya dan terjun bersama ke laut. Kemudian dia meminta istrinya ikut terjun dan menjauhi kapal yang terbakar.
Api semakin membumbung ke udara, angin kencang menerpa mereka dan lebih seratus korban lainnya. Hiyazi sudah tak melihat lagi istrinya. sementara kedua tangannya menjaga anaknya agar tetap mengapung. Ia berusaha menenangkan dirinya agar tak terbawa arus dan tenggelam.
Beberapa saat sebuah kapal kecil datang memberi pertolongan. Tapi kapal tak muat menampung ratusan korban. Hiyazi hanya meminta anaknya diangkut. Ia menunggu kapal selanjutnya memberi pertolongan. Tapi Hiyazi belum melihat istrinya.