INFO METRO – Kinerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) selama hampir lima tahun belakangan ini meningkat tajam. Itu karena Kementerian ATR/BPN terus melakukan percepatan Reforma Agraria (RA) dan memberikan kepastian hukum atas hak tanah masyarakat melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Salah satu tujuannya adalah menjamin pemerataan sosial-ekonomi dan mengurangi konflik pertanahan.
"Dalam upaya memberikan kepastian hukum pada masyarakat, kami mempercepat pengeluaran sertifikat tanah. Kalau sebelumnya menghasilkan sertifikat tanah di bawah 1 juta per tahun, kita naikkan mulai di tahun 2017 targetnya 5 juta. Dan, target itu terus naik di tahun berikutnya," ujar Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil, saat wawancara bersama CNBC Indonesia di Gedung Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Rabu 15 Mei 2019.
Sofyan A. Djalil menambahkan, keseriusan pemerintah melaksanakan percepatan pendaftaran tanah dengan mengubah sistemnya dari yang sporadis sekarang dilaksanakan secara sistematis.
Hasilnya, terjadi peningkatan yang tinggi. Dengan adanya sistem PTSL, Kementerian ATR/BPN pada 2017 berhasil mendaftarkan dan menghasilkan sertifikat untuk 5,4 juta bidang tanah. Lalu, pada 2018 meningkat lagi dengan mengeluarkan sertifikat untuk 9,3 juta bidang tanah. Diharapkan, pada 2025 seluruh tanah di Indonesia terdaftar semua.
Tantangan yang dihadapi Kementerian ATR/BPN, yaitu kurangnya juru ukur dalam melaksanakan pengukuran bidang tanah objek PTSL dan sengketa atau konflik tanah yang membuat adanya klusteriasi status tanah.
Sofyan Djalil menambahkan, Reforma Agraria memiliki dua komponen, yaitu legalisasi aset dan redistribusi tanah. Legalisasi aset dilakukan bagi rakyat yang punya tanah, tetapi tidak punya sertifikat (asset idle), sehingga mereka bisa ke bank untuk dapat pinjaman dari bank pemerintah dengan bunga lebih rendah dari rentenir sekitar 7% per tahun. Sementara, redistribusi tanah adalah tanah terlantar atau eks HGU, yang kemudian diambil negara untuk dibagikan ke masyarakat.
Tujuannya adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih prorakyat, melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. "Untuk Penataan Aset ada dua program, pertama Legalisasi Aset kemudian Redistribusi Tanah," ujar Sofyan A. Djalil.
Terkait dengan adanya wacana pemindahan ibu kota Indonesia yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan, Kementerian ATR/BPN menjadi salah satu instansi yang sering disebut namanya terkait proses pengadaan tanahnya. Sampai saat ini, belum ditetapkan secara pasti di mana lokasi ibu kota barunya. Oleh karena itu, diharapkan jangan sampai ada spekulan tanah.
"Jangan coba-coba spekulasi jual beli tanah nanti rugi, karena presiden maupun pemerintah belum memutuskan di mana letak persisnya ibu kota baru yang nantinya akan dibangun," ujar Sofyan A. Djalil.
Untuk lokasi ibu kota baru, perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu terkait aspek kebencanaan daerah, aspek topografi, rancangan tata ruang, dan adanya fasilitas penunjang. Untuk proses pengadaan tanahnya kemungkinan bisa berasal dari tanah negara maupun tanah masyarakat dan dipastikan pembebasan lahannya jauh lebih mudah.
"Kementerian ATR/BPN kini jauh lebih baik dari sebelumnya, untuk pembebasan tanah tidak ada masalah lagi seperti dulu, buktinya Tol Trans Jawa dan infrastruktur lainnya dapat selesai pembebasan lahannya dalam tempo cepat," ujar Sofyan A. Djalil. (*)