TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pria dengan retardasi mental asal Tebet, Jakarta Selatan bernama Eddy Soeryono alias Yoyo dituding melakukan aksi pencabulan terhadap dua anak perempuan, yakni A dan S yang masing-masing berumur 10 dan 8 tahun. Perkara ini sudah masuk ke persidangan pokok perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanpa adanya pemeriksaan kondisi psikologi terhadap Yoyo terlebih dahulu.
"Terdakwa tidak pernah ada pemeriksaan kondisi psikologi baik saat di Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, maupun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Penyandang Disabilitas," ujar Kepala Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora kepada Tempo pada Kamis, 2 Juli 2020.
Nelson yang menjadi kuasa hukum Yoyo menjelaskan bahwa Pasal 30 itu mensyaratkan agar penegak hukum sebelum memeriksa penyandang disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan; psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan atau pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.
Nelson menuturkan, kasus ini bermula saat sebuah video beredar di media sosial maupun aplikasi pesan singkat di kalangan warga Tebet yang memperlihatkan seorang dewasa, yakni Yoyo menyentuh organ genitali anak pada 16 Agustus 2019. Video tersebut direkam oleh tetangga Yoyo yang rumahnya bersebelahan langsung dengan tempat kejadian perkara (TKP).
Nelson berujar, dalam video tersebut terlihat bahwa korban S menarik tangan terdakwa untuk menyentuh organ genetalnya. Kemudian korban A mendatangi pria berumur 45 tahun tersebut untuk meminta dipeluk.
"TKP tersebut merupakan kuburan nenek dari terdakwa. Terdakwa hampir setiap hari mengunjungi tempat itu untuk membersihkannya, bahkan terdakwa juga sering tidur di sana," ujar Nelson.
Nelson mengatakan, pada 9 Oktober 2019, terdakwa ditangkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya berdasarkan laporan yang dibuat oleh keluarga korban. Yoyo disangka telah melakukan tindak pidana persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D juncto Pasal 81 dan atau Pasal 76 E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Nelson mengatakan, LBH Jakarta telah melakukan observasi terhadap Yoyo. Hasilnya ditemukan sejumlah fakta, seperti terdakwa tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, tidak bisa menghitung, dan tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Namun menurut keluarga terdakwa, ujar Nelson, Yoyo pernah didaftarkan orang tuanya di SD dan selalu dipantau.
"Pada saat sekolah terdakwa sering lari ke jendela setiap kereta lewat, karena hal itu mengganggu proses belajar mengajar, sekolah merekomendasikan untuk pindah ke SLB, akhirnya ia berhenti sekolah," ujar Nelson.
Fakta lain yang ditemukan dari hasil observasi LBH Jakarta adalah bahwa terdakwa tidak pernah melakukan kejahatan, tidak pernah mengganggu orang, sering diganggu teman-temannya semasa kecil, bertingkah laku seperti anak-anak, tidak bisa berkomunikasi secara baik, dan sering dikucilkan semasa kecil.
Selain itu, terdakwa sering mengantuk-ngantukkan kepala ke dinding jika marah, sering menceburkan diri ke saluran air jika dimarahi oleh saudaranya, tidak lancar berbicara, dan warga di lingkungan tempat tinggalnya susah untuk mengerti apa yang terdakwa sampaikan.
"Kemudian terdakwa hanya mengetahui jika semua nilai uang adalah dua ribu rupiah," kata Nelson.