Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta belum mengetahui status HGB Ancol Barat dan akan mengecek kembali dokumen tersebut.
Komisi B meminta Pemprov DKI memastikan terlebih dulu status HGB itu. "Itu kan masih ngambang (belum jelas statusnya). Jadi harus ada kejelasan mengenai status HGB nya dulu, jangan sampai kita bangun ternyata kita harus bayar (kompensasi) ke Asahimas karena itu masih hak mereka," kata Aziz.
Pembahasan mengenai status HGB dan HPL ini untuk menghindari adanya kesalahan dalam proses administrasi dan keuangan. Jangan sampai, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan anggaran hanya untuk membayar lahannya sendiri.
"Kalau sampai begitu, dalam hal ini Pemda DKI justru akan dirugikan karena sebenarnya milik Pemda DKI sendiri. Justru kalau bisa kita tarik (HGB), yah ditarik karena akan digunakan untuk depo," ucapnya.
Aziz menjelaskan, dari 10 HGB di sana tercatat ada satu lokasi yang memiliki lahan paling luas sekitar 93.970 meter persegi dengan masa berlaku sampai 2022 mendatang. Sementara lahan yang paling kecil seluas 2.246 meter persegi dengan masa berlaku sampai 2029.
"Kami akan terus kolaborasi sehingga jelas apa yang terjadi. Jangan sampai ini dijadikan permainan oleh oknum tertentu," ucapnya.
Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA), Teuku Sahir mengatakan, total luas lahan di Ancol Barat yang disampaikan PT MRT mencapai 43 hektar. Tercatat ada 10 sertifikat HGB yang ada di sana, dengan tujuh sertifikat di antaranya dimiliki Asahimas dan tiga sertifikat lagi dimiliki Jakpro.