TEMPO.CO, Jakarta - Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB seperti awal pandemi Covid-19 tidak pas dengan kondisi ekonomi dan sosial Bogor saat ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor tidak akan cukup itu.
"Bagaimana membantu perekonomian warga yang dipaksa untuk tinggal di rumah?" kata dia dalam diskusi virtual dalam acara Prespektif Indonesia, Sabtu, 12 September 2020. Bima juga mempertanyakan komitmen provinsi dan kementerian untuk membantu warga terdampak secara finansial jika PSBB diberlakukan.
Pemerintah Kota Bogor mencatat 40 persen warganya kehilangan pekerjaan karena pandemi. Mayoritas warga tidak memahami definisi Covid-19 dan merasa jauh dari virus Corona. Sebanyak 19 persen percaya teori konspirasi, 29 persen tidak percaya, dan 50 persen bingung.
Data itu merupakan gabungan milik pemerintah dengan survei yang dilakukan LaporCovid-19 bersama Nanyang Technological University (NTU) Singapura terhadap 21 ribu responden warga Kota Bogor.
Dampak ekonomi wabah ini, kata Bima, demikian dahsyat. “Kedua, tingkat edukasi warga, persepsi risiko ancaman Covid-19 rendah sekali. Ini bahaya."
Menurut Bima Arya, ada dua aspek yang harus diperhatikan sebelum menerapkan PSBB total. Selain urusan ekonomi, personel pemerintah Kota Bogor yang mengawasi warga juga terbatas. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor tak sampai 200 orang. "TNI dan Polri mampu atau tidak?"
Gubernur DKI Anies Baswedan memutuskan Ibu Kota kembali menerapkan PSBB mulai 14 September 2020. Kebijakan itu diambil setelah kasus pasien positif Covid-19 terus melonjak sejak PSBB transisi pada 5 Juni 2020. PSBB transisi fase I berakhir 10 September 2020.
Anies belum mengumumkan kebijakan yang akan diberlakunya di masa pengetatan kembali PSBB Jakarta. Dia masih berkoordinasi dulu dengan pemerintah pusat. LANI