TEMPO.CO, Jakarta - Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSPTIM) berharap pengelolaan TIM tidak terus dikelola dengan konsep yang mementingkan bisnis belaka. Para seniman keberatan jika TIM hasil revitalisasi akan dikelola PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selama 30 tahun ke depan sejak 2019.
Koordinator FSPTIM Tatan Daniel mengatakan, pengelolaan TIM oleh Jakpro sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) membuat para pekerja seni khawatir, karena kapasitas perusahaan tersebut sebagai perusahaan profit.
"FSPTIM itu terbentuk karena mensinyalir Pergub 63, yang sekarang diperbarui menjadi Pergub 16, bahwa gubernur menunjuk Jakpro mengelola TIM ini 28 tahun karena ada penyertaan modal Rp 1,6 triliun yang harus dikembaliin, kami menolak itu," kata Tatan saat ditemui di TIM, Jakarta, Jumat, 27 Mei 2022.
Menurut Tatan, seharusnya TIM dikelola oleh sebuah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau Badan Otorita Khusus. Tujuannya, supaya satu-satunya rumah besar pekerja seni itu tidak terkomersialisasikan atau hanya mementingkan urusan bisnis belaka bagi para kapitalis.
"BLUD seperti ini kan sudah terjadi di rumah sakit, di beberapa perguruan tinggi. Kami menganggap TIM itu semacam ruang pendidikan dan rumah sakit yang memang sepenuhnya dikelola pemerintah tanpa harus ada urusan mencari keuntungan laba, profit, transaksi bisnis yang sangat mengganggu," ucapnya.
Kekhawatiran ini kata Tatan bukan hanya isapan jempol belaka. Jakpro, menurutnya, tengah berusaha membentuk dewan pakar yang akan mengelola TIM namun tidak melibatkan pekerja seni sama sekali. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga tidak masuk ke dalam struktur dewan pakar.
"Padahal dalam Pergub tentang pengangkatan anggota DKJ pada 2020 itu, DKJ mengelola TIM. Itu yang dituntut Danton Sihombing (Ketum DKJ) dan kawan-kawan. Di mana porsi kami mengelola TIM tapi ternyata enggak, itu yang harus dijernihkan," kata Tatan.
Oleh sebab itu, dari awal FSPTIM menolak keras Jakpro menjadi pengelola TIM. Mereka pun membuat kelompok khusus yang ada dalam Posko #SaveTIM.
TIM Dikelola Jakpro dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta
Apalagi pengelolaan TIM saat ini sebetulnya terbagi dua, yaitu Jakpro mengelola bagian yang direvitalisasi sedangkan bagian lain dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
"Jadi satu kawasan ada dua bosnya, itu aneh," kata Tatan. "Seharusnya dikelola BLUD, ada profesional ada para pakar, seniman, birokrasi, termasuk Jakpro. Ayo sama sama tapi jangan dikuasai sendiri lalu seniman nanti akan sulit."
Jika pemerintah ingin berdagang di sektor kesenian, kata dia, sebetulnya sudah ada tempat-tempatnya, misalnya JIEXPO Convention Center & Theatre yang memasang tarif sewa tinggi, serta Ciputra Artepreneur yang harga sewa teaternya mencapai Rp150 jutaan. TIM menurut dia tidak bisa seperti itu.
"Jangan seperti itu. Bahkan kami tolak itu retribusi di teater kecil saja yang lama itu kan di TIM satu malam Rp30 juta menurut Peraturan Daerahnya. Kita bayangkan seniman mana yang bisa bayar retribusi sewa pakai Rp30 juta untuk main teater," ucap Tatan.
Idealnya, rumah kesenian bagi para pekerja seni yang dikelola negara harusnya menggratiskan biaya sewa pertunjukannya. Hal ini menurutnya terjadi di sejumlah negara, seperti di Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, hingga Korea Selatan.
"Ketika dia mau masuk rumahnya masa bayar, sama dengan Ciputra Artpreneur yang bisnis kapitalis jelas itu, bisnis kapitalis kesenian. Kan TIM ini enggak, punya negara, masa negara ambil duit dari sini, jahat negara, negara kapitalis sendiri enggak gitu," kata Tatan.
Sejauh ini, Jakpro memang belum memberikan penjelasan mengenai persoalan sewa tempat pertunjukan setelah revitalisasi TIM. "Berapa nanti saya enggak tahu, bisa Rp 10 juta, Rp 50 juta, Rp 100 juta, lalu katanya kepada seniman ada diskon, lah kok diskon, ini rumahnya seniman kok dulu pak Ali Sadikin bangun ini untuk teman-teman seniman," ujar Tatan.
Baca juga: Seniman Heran Ada Kolam Renang di Atas Gedung Panjang TIM